Hari
Jumat menjadi hari besar bagi umat muslim khususnya bagi kaum laki-laki (adam),
pada hari Jumat setiap laki-laki diwajibkan untuk melaksanakan ibadah sholat
jumat secara berjamaah di masjid, maka tidak heran ketika hari itu terlihat
puluhan hingga ratusan laki-laki yang bergerak menuju masjid dibandingkan
hari-hari lainnya. Namun ada yang berbeda dengan hari Jumat yang lalu tepatnya
tanggal 15 Meret 2019, sebuah tragedi berdarah terjadi di dua masjid sekaligus
yang terletak di Kota Christchurc, Selandia Baru. Sebuah aksi penembakan yang
dilakukan oleh 4 orang teroris terhadap orang-orang yang sedang melaksanakan
ibadah sholat jumat di kedua masjid tersebut, hingga detik ini, berdasarkan
laporan dari berbagai media yang secara khusus meliput kejadian tersebut
menyebutkan jumlah korban jiwa akibat insiden itu mencapai 50 orang dan
beberapa orang lainnya cedera. Lantas bagaimana pandangan hukum terkait
kejadian tersebut khususnya hukum internasional? Apakah tindakan tersebut
tergolong genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan?
DEFINISI GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP
KEMANUSIAAN
Mengacu
kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia tepatnya dalam rumusan pasal 8 menyebutkan bahwa genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagaimana kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan
fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain.
Selanjutnya
dalam pasal 9, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemidahan
penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional; penyiksaan; pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara
paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara; penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, atnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal lain yang dilarang hukum
internasional; penghilangan secara paksa; atau kejahatan apartheid.
Berdasarkan
definisi diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, mengenai perbedaan dari kedua
isitilah tersebut. Genosida lebih menekankan kepada perbuatan yang dilandasi
dengan niat untuk menghancurkan atau memusnahkan suatu kelompok bangsa, ras,
etnis dan agama sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan melihat dari
perbuatannya yaitu suatu tindakan terhadap penduduk sipil secara umum tanpa
memandang bangsa, ras, etnis dan agama.
Menurut
Ani W. Soejipto (2015, 94) kejahatan genosida memiliki definisi yang terbatas
dimana harus terdapat elemen ‘destroy’
yang mengakibatkan kerusakan fisik atau biologis terhadap kelompok, sehingga
kerusakan budaya saja masih belum dapat diartikan sebagai genosida. Selain itu,
genosida tersebut dapat dilakukan hanya terhadap beberapa orang dan tidak perlu
menjadi bagian dari ‘campaign against civilians’ yang sistematis atau meluas.
Sebagaimana pendapat Ani W. Soejipto sesuatu kejahatan baru bisa dikategorikan
sebagai genosida jika terdapat unsur menghancurkan suatu kelompok, kelompok
yang dimaksud adalah kelompok yang berdasarkan atas bangsa, etnis, suku dan
agama, dan tindakan tersebut harus mengakibatkan luka fisik atau biologis.
Aspek
mendasar yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam membedakan antara genosida
dan kejahatan kemanusiaan adalah niat dari si pelaku, apakah tujuan dari
tindakan tersebut untuk menghancurkan atas dasar bangsa etnis, suku dan agama,
jika tanpa embel-embel tersebut maka tindakan tersebut merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Kembali
kekasus awal, yaitu tragedi penembakan di Selandia Baru, apakah kasus tersebut
termasuk kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika ditelaah
lebih jauh tindakan tersebut terjadi disebuah masjid ketika sedang berlangsung
ibadah sholat jumat. Secara pribadi penulis masih mengkategorikan perbuatan
tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, kenapa? Sebagaimana penjelasan
diatas genosida terjadi jika ada maksud untuk menghancurkan atau memusnakan
suatu kelompok, suku, etnis dan agama, kata “maksud” dalam kalimat tersebut
diartikan sebagai niat atau keinginan batin dari si pelaku yang dalam hukum
disebut dengan istilah mens rea. Aspek
“mens rea” ini harus dibuktikan
terlebih dahulu sebelum memberikan kesimpulan, sedangkan pelaku penembakan
tersebut masih dalam proses penyidikan otoritas setempat dan belum ada putusan inkrach dari pengadilan disana. Meskipun
tempat kejadian perkara adalah masjid yang merupakan rumah ibadah dan erat
kaitannya dengan agama namun tidaklah gampang untuk mengkategorikanya sebagai
genosida, namum yang pasti perbuatan tersebut termasuk kejahatan terhadap
kemanusiaan yang berupa pembunuhan secara langsung dan sistematis terhadap
penduduk sipil.
HUBUNGAN DENGAN HUKUM INTERNASIONAL
Mahkamah
Pidana Internasional atau International Criminal
Court (ICC) adalah pengadilan yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran
pidana khususnya pelangaran HAM berat dalam lingkup Internasional, ICC berdiri
berdasarkan Statuta Roma dan memiliki yuridiksi untuk mengadili kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi.
Jadi
bisakah tragedi yang terjadi di Selandia Baru pelakunya diadili di ICC? Ada
beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan, pertama, adanya hukum nasional yang berlaku positif, setiap negara
di dunia masing-masing memiliki hukum nasional yang berlaku mengikat di seluruh
wilayah yang termasuk dalam teritori negara tersebut, termasuk Selandia Baru
juga memiliki hukum nasional yang berlaku sehingga sebelum perkara tersebut
dilimpahkan ke ICC terlebih dahulu diselesaikan berdasarkan hukum nasional
Selandia Baru. Perkara baru bisa dilimpahkan ke ICC jika negara tempat terjadi
pelanggaran HAM berat tersebut tidak mampu atau tidak mau mengadili si pelaku,
sehingga ICC bisa menyelidiki dan mendakwa. Kedua,
apakah negara tempat terjadinya pelanggaran HAM berat telah meratifikasi atau
mengaksesi Statuta Roma, baik ratifikasi maupun aksesi keduanya sama-sama mengikatkan
diri dengan hukum internasional, pengertian lainnya adalah mengadopsi atau
menerima hukum internasional menjadi hukum nasional namun ratifikasi disematkan
untuk negara atau pihak yang ikut merumuskan suatu statu atau konvensi
sedangkan aksesi hanya untuk negara yang mengikatkan diri tanpa ikut merumuskan
statuta atau konvensi. Jika sebuah negara tidak meratifikasi atau mengaksesi Statuta
Roma tentang ICC maka negara tersebut tidak terikat secara hukum dengan Statuta
Roma, maka dari itu jika ingin mengadili pelaku penembakan Selandia Baru di ICC
harus diteliti lebih jauh apakah Selandia Baru telah meratifikasi atau mengaksesi
Statuta Roma tentang ICC, namun tetap kembali ke point pertama yaitu
menghormati hukum nasional yang berlaku positif di negara tersebut.
SEMOGA
PARA KORBAN SYAHID DAN MENDAPATKAN SURGA DISISI ALLAH SWT. AMIN
Comments
Post a Comment