Sebagaimana
sebelumnya dijelaskan bahwa ketika terjadi reformasi tahun 1998 terjadi
beberapa tindakan yang menurut pandangan beberapa ahli tindakan tersebut
termasuk kedalam kategori pelanggaran HAM berat. Tindakan-tindakan tersebut
diantaranya adalah kasus penembakan mahasiswa Trisakti, tragedi Semangging I
dan II, tragedi Tanjung Priok, kasus Timor-Timur dan lain-lain. Sejauh ini
dalam perkembangannya sudah ada beberapa kasus yang telah ditetapkan pelaku
yang dianggap bertanggung jawab atas insiden tersebut, misalnya kasus Trisakti
telah ditetapkan dalam Mahkamah Militer beberapa orang perwira Polri menjadi
tersangka. Sementara itu dua kasus lainnya yaitu kasus Timor-Timur 1999 dan
kasus Tanjung Priok 12 September 1984 sudah diajukan ke pengadilan HAM ad hoc.
Dalam
kasus Timor-Timur 1999, dari 18 orang yang diadili dalam di pengadilan HAM ad
hoc hanya dua orang dinyatakan bersalah, mereka adalah mantan Gubernur
Timor-Timur Abilio Soares dan mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi
Eurico Guterres, namun keduanya bebas setelah setelah permohonan peninjauan
kembali yang mereka ajukan diterima oleh Mahkamah Agung. Sementara itu dalam
kasus Tanjung Priok 12 September 1984 para terdakwa yang semula dinyatakan
bersalah bebas di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Pada
tahun 2000 telah dirumuskan dan disahkan undang-undang yang mengatur tentang
pengadilan hak asasi manusia yang memiliki tujuan untuk mengadili pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi didalam teritorial negara Indonesia.
Namun
dalam kenyataannya pemberlakuan undang-undang nomor 26 tahun 2000 masih menuai
kontroversi dari beberapa pihak, pasalnya dianggap melanggar asas retroaktif
atau berlaku surut. Asas retroaktif adalah asas yang menyatakan bahwa suatu
undang-undang tidak dapat diberlakukan terhadap kasus-kasus yang terjadi
sebelum undang-undang tersebut disahkan atau berlaku. Hal ini dijadikan alasan
beberapa pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau
untuk menghindari proses hukum.
Permasalahan
mengenai berlaku surutnya undang-undang nomor 26 tahun 2000 terjawab dalam BAB
X ketentuan penutup undang-undang ini. Dalam pasal 46 disebutkan “untuk
pelaggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”. Dilanjutkan
dalam pasal 47 ayat (1) “pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya
dilakukan oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi” ayat (2) “komisi kebenaran
dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang”.
Berdasarkan bunyi
dari pasal 46 dan 47 undang-undang nomor 26 tahun 2000, maka tidak menutup
kemungkinan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu untuk
diproses kembali. Instrument yang bisa dilakukan adalah pembentukan pengadilan
HAM ad hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tujuan dari KKR adalah
memberi hak bersuara kepada para korban secara individual agar bisa mendapatkan
keadilan yang bisa berupa konpensasi, restitusi, serta rehabilitasi.
Comments
Post a Comment