Pengertian Tindak Pidana

Image
*Gambar oleh Succo dari Pixabay Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam hukum pidana, oleh karena itu istilah tindak pidana harus diartikan secara ilmiah dengan penentuan yang jelas agar dapat memisahkan dengan istilah yang dipergunakan sehari-hari dalam masyarakat. [1] Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam tulisan-tulisan para pakar hukum pidana Indonesia, sering juga digunakan istilah “delik” sebagai padanan dari istilah tindak pidana. Istilah “delik” berasal dari kata delict dalam bahasa Belanda, namun ada pula yang menggunakan istilah “perbuatan pidana” untuk tindak pidana. [2] Sehingga tindak pidana dapat diartikan sebagai prilaku yang melanggar kete

Lembaga Negara yang Berwenang Mengubah Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Konstitusi dan negara adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dalam kenegaraan keduanya adalah satu kesatuan karena sautu negara tidak akan bisa berdiri tampa adanya konstitusi begitu pula sebaliknya konstitusi tidak akan ada jika tidak ada negara. Konstitusi itu sendiri diartikan sebagai hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, hukum dasar yang tertulis biasanya disebut sebagai Undang-undang Dasar sedangakan hukum dasar yang tidak tertulis disebut sebagai konvensi (kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan yang dasar yang timbul dengan terpelihara dalam penyelenggaraan negara.[1]
Konstitusi yang diberlakukan disetiap negara berbeda-beda, ada yang menggunakan konstitusi tertulis ada juga yang menggunakan konstitusi tidak tertulis namun ada sebagian negara yang mengunakan keduanya. Perbedaan tersebut dilatarbelakangin oleh sistem hukum yang dianut masing-masing negara, sistem hukum yang paling sering digunakan adalah sistem hukum eropa continental (civil law), sistem hukum anglo saxon (common law), dan sistem hukum islam (Islamic law).
Prinsip utama yang menjadi dasar dalam sistem hukum eropa kotinental itu ialah “hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodefikasi atau komplikasi tertetu”.[2] Sedangkan dalam sistem hukum anglo saxon yang menjadi sumbernya adalah putusan-putusan hakim/pengadilan (judicial decisions) karena dianggap bahwa putusan hakim atau pengadilan dapat mewujudkan kepastian hukum.[3] Dalam sistem hukum anglo saxon keberadaan peraturan tertulis undang-undang tetap diakui keberadaan namu tidak dibukukan dalam satu undang-undang dasar.
Negara Indonesia sendiri memiliki konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis, hal ini dikarenakan Indonesia menggunakan sistem hukum campuran antara sistem hukum civil law, sistem hukum anglo saxon, sistem hukum islam dan sistem hukum asli Indonesia yaitu sistem hukum adat yang turun-temurun hidup didalam masyarakat. Konstitusi tertulis Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 yang mejadi hukum tertinggi di Indonesia sedangkan konstitusi tidak tertulis yang dimiliki Indonesia adalah konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan misalnya pidato presiden setiap tanggal 16 Agustus.
Konstitusi tertulis negara Indonesia yaitu undang-undang dasar 1945 yang disusun oleh pendiri negara, secara keberlakuan mengalami pasang surut sesuai dengan kebijakan politik pada saat itu. Periodisasi keberlakuan tersebut menggambarkan bahwa konstitusi yang menjadi fundamental atau dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar telah diuji dengan berbagai peristiwa dan kondisi bangsa sesuai dengan dinamika sejarah yang berlangsung saat itu.[4]
Sebagai dasar hukum dasar, perumusan isinya disuse secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara beruntun. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar serta bersifat terbuka sehingga memungkinkan untuk menampung dinamika perkembangan zaman. Walaupun demikian, meskipun perumusan undang-undang dasar bersifat garis besar, haruslah disusun agar ketentuan yang diatur tidak multi interpretasi sehingga tidak dapat ditafsirkan sewenang-wenang oleh para penyelenggara negara.[5] Karena itulah konstitusi di Indonesia pernah beberapa kali mengalami perubahan.
Sejarah ketatanegaraan indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar (Konstitusi) yaitu:
1.      Undang-undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2.      Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, yang berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3.      Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang berlaku antara 17 agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4.      Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang.[6]
Ketiga macam konstitusi yang pernah diberlakukan dan dijadikan dasar dalam pemerintahan Indonesia menjadi salah satu bukti bahwa negara Indonesia yang sekarang ini terus mencoba untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik di dalam konstitusi negara agar bisa menciptakan dasar negara yang dapat mewujudkan cita-cita dari bangsa indonsia. Semua hal tersebut dpat diwujudkan apabila adanya semangat dan kemauan politik para penyelenggara negara. Akan tetapi, jika penyelenggara negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak memiliki tekad serta komitmen untuk mewujudka demokrasi itu maka hanya akan menjadi sebatas retorika.[7]
Dikarenakan konstitusi Indonesia yang bersifat dinamis sehingga masih memungkinkan untuk terjadinya perubahan pada konstitusi. Karena hal tersebutlah yang mengakibatkan timbulnya pertanyaan dari sekian banyaknya lembaga negara yang manakah yang memiliki kewenangan dalam merubah konstitusi. Karena tidak semua lembaga negara diberikan kewenangan tersebut.
Sebelum membahas mengenai hal tersebut, terlebih dahulu harus dipahami teori-teori yang berhubungan dengan pembagian dan pemisahan kekuasaan negara. Hal ini dimaksudkan agar lebih memperjelas bagaimana pembagian-pembagian kewenang diantara lembaga tinggi negara.
Di dalam buku Prof. Dr. Jimly Assiddiqie yang berjudul; pengantar ilmu hukum tata negara disebutkan bahwa salah satu cirri negara hukum, yang dalam bahasa inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa belanda dan jerman disebut rechsstaat,  adalah cirri pembatasan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechsstaat dan rule of the law itu memiliki latar belakang dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasn itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham kosntitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibati oleh konstitus. Dalam koteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.[8]
Lebih lanjut untuk semakin memperjelas pembagian kekuasaan, prof. jimly mengutip dua teori yang dikemukanan John Locke dan Montesquieu. Kedua tokoh tersebut sangat berpengaruh pada zaman, bahkan hasil pemikiran-pemikiran mereka sampai sekarang ini masih dipakai sebagai acuan dalam pembelajaran.
Menurut Montesquieu, dalam bukunya ”L’Esprit des Lois” (1748) yang mengikuti jalan pemikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang yaitu; kekuasaan legeslatife sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakannya, dan kekuasaan untuk menghakimi atau yufikatif. Dari klarifikasi Montesquieu inilh yang dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legeslatif, eksekutif dan yudisial.[9]
Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara kedalam tiga fungsi tetapi berbeda isisnya. Menurutnya fungsi kekuasaan negara meliputi fungsi legeslatif, eksekutif dan federatif.[10]
Dalam bidang legeslatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana tersebut tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatiif sedangkan Montesquieu mengutamakan fungsi kehakiman atau yudisial.monteaquiue lebih melihat pembagaian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan ke luar dengan negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif, sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan ke dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu yang terkait dengan fungsi pelaksanaan hukum.[11]
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia lebih condong menggunakan teori pembagian atau pemisahan kekuasan yang dikemukakan oleh Montesquieu, di Indonesia kekuasaan negara dibagi kedalam tiga fungsi kekuasaan, yaitu kekuasaan legeslatif, eksekutif dan yudisial. Dikarenakan dalam teori trias politica dengan jelas disebutkan bahwa lembaga legeslatif lah yang memiliki kewenangan dalam membuat undang-undang sehingga lembaga legeslatif yang memiliki kewenangan dalam mengubah konstitusi, sebagaimana tafsir dari konstitusi bahwa undang-undang adalah bagaian dari konstitusi tertulis. Lembaga legeslatif di Indonesia terbgi atas lembaga DPR, MPR, dan DPD, dari ketiga lembaga negara ini hanya MPR yang diberikan kewenangan dalam mengubah undang-undang dasar.
MPR melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan berpedoman pada ketentuan pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur prosedur perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Nasakah yang mejadi objek perubahan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.[12]
MPR selaku lembaga tinggi negara yang memiliki kewenangan dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki batasan kewenangan. Diantaranya:
1.   Tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.      Mempertahankan sistem pemerintahan presidensial;
4.   Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan kedalam pasal-pasal;
5.     Melakukan perubahan dengan cara adendum.[13]

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah melakukan empat kali perubahan pada konstitusi negara dengan menggunakan tiga konstitusi berbeda, selama prose perubahan setiap konstitusi tersebut sepak terjang lembaga negara MPR belum ada. Hal ini dikarenakan Undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 merupakan produk yang dihasilkan oleh BPUPKI[14] dan PPKI[15]. Begitu pula dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 yang dirumuskan oleh Panitia Urusan Ketatanegaraan dan Hukum Tatanegara serta melibatkan BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) dan diberlakukan sejak tanggal27 Desember 1949. Sama halnya dengan Undang-Undang Dasar Sementara yang disusun oleh panitia bersama.
Melalui Dekrit Presiden Nomor 150 Tanggal 5 Juli Tahun 1959, berlakulah kembali Undng-Undang Dasar 1945 di selurul wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia[16]. Inilah kenyataan dari sejarah ketatanegraan Indonesia, MPR tidak terlibat dalam perubahan konstitusi yang sudah terjadi selama empat kali sejak Indonesia memprokalamasiakan kemerdekaannya. Kewenangan MPR untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar baru terlihat setelah reformasi Indonesia tepatnya ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami amandemen yang pertama pada tanggal 14-21 Oktober 1999, dilanjutkan dengan amandemen ke dua tanggal 7-18 Agustus 2000, ketiga tanggal 1-9 November 2001 dan amandemen keempat tanggal 1-11 Agustus 2002.







Daftar Pustaka:
Abdullah Marlang, Irwansyah & Kaisaruddin Kamaruddin. Pengenantar Hukum Indonesia. Makassar: AS Center. 2009.
Dahlan Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda. Teori Dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Hendarmin Ranadireksa. Dianmika Konstitusi Indonesia. Bandung: Fokusmedia. 2007.
Jimly Assiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
MPR. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. 2016.
M. Kusnardi & Bintan Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara, Sekretariat. Jakarta: Jendral MPR RI. 2012.
Taupikqurrohman Syahuri. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta: Kencana. 2011.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.





[1] M. Kusnadi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta 2005, hlm 139
[2] Abdullah Marlang, Irwansyah & Kaisaruddin Kamaruddin, Pengantar Hukum Indonesia, AS Center, Makassar 2009, hlm 25
[3] Ibid hlm 27
[4] Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta 2012, hlm 121
[5] Ibid hlm 122
[6] Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Kostitusi, Rajawali Pers, Jakarta 2011, hlm 82
[7] Op.cit Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisai MPR Periode 2009-2014, hlm 122
[8] Jimly Assiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2014, hlm 281
[9] Ibid hlm 283
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] MPR, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta 2016, hlm 13-14
[13] Ibid hlm 18
[14] BPUPKI (Badan Penyeledik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau sering juga disebut dengan Dokuritsu Zyumby Tyoosakai adalah badan yang dibentuk oleh Jepang sebagai realisasi janji kemerdekaan yang diberikan oleh Perdana Menteri Jepang Kuniako Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Tugas utama dari BPUPKI adalah mempelajari serta menyelediki hal-hal penting yang berhubungan dengan berbagai hal yang menyangkut pembentukan Negara Indonesia. Taupifiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta 2011, hlm 1
[15] PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) oleh jepang disebut sebagai Dokuritsu Zyunbi Inkai, PPKI dibentuk dengan tujuan menggantikan BPUPKI dan dengan tugas utamanya untuk mempersiapkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. PPKI lah yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis negara republik Indonesia. Ibid hlm 3
[16] Op.cit Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, hlm 133

Comments

Popular posts from this blog

Pantaskah Hukuman Mati Untuk Koruptor

Contoh Surat Tuntutan Pidana Penggelapan

Hubungan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pegadilan HAM Dengan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Resume Singkat: Advokasi

Perubahan Konstitusi Beberapa Negara di Dunia

Kontrak Pemain Sepak Bola

Hidup di Asrama Bagai Hidup dalam Sangkar

Pengertian Tindak Pidana

Drama Kasus Korupsi Negeri Ini (e-KTP)