Konstitusi
dan negara adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dalam kenegaraan keduanya
adalah satu kesatuan karena sautu negara tidak akan bisa berdiri tampa adanya
konstitusi begitu pula sebaliknya konstitusi tidak akan ada jika tidak ada
negara. Konstitusi itu sendiri diartikan sebagai hukum dasar baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, hukum dasar yang tertulis biasanya disebut sebagai
Undang-undang Dasar sedangakan hukum dasar yang tidak tertulis disebut sebagai
konvensi (kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan yang dasar yang timbul
dengan terpelihara dalam penyelenggaraan negara.
Konstitusi
yang diberlakukan disetiap negara berbeda-beda, ada yang menggunakan konstitusi
tertulis ada juga yang menggunakan konstitusi tidak tertulis namun ada sebagian
negara yang mengunakan keduanya. Perbedaan tersebut dilatarbelakangin oleh
sistem hukum yang dianut masing-masing negara, sistem hukum yang paling sering
digunakan adalah sistem hukum eropa continental (civil law), sistem hukum anglo saxon (common law), dan sistem hukum islam (Islamic law).
Prinsip
utama yang menjadi dasar dalam sistem hukum eropa kotinental itu ialah “hukum
memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang
berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodefikasi atau
komplikasi tertetu”.
Sedangkan dalam sistem hukum anglo saxon yang menjadi sumbernya adalah
putusan-putusan hakim/pengadilan (judicial
decisions) karena dianggap bahwa putusan hakim atau pengadilan dapat
mewujudkan kepastian hukum.
Dalam sistem hukum anglo saxon keberadaan peraturan tertulis undang-undang
tetap diakui keberadaan namu tidak dibukukan dalam satu undang-undang dasar.
Negara
Indonesia sendiri memiliki konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis,
hal ini dikarenakan Indonesia menggunakan sistem hukum campuran antara sistem
hukum civil law, sistem hukum anglo saxon, sistem hukum islam dan
sistem hukum asli Indonesia yaitu sistem hukum adat yang turun-temurun hidup
didalam masyarakat. Konstitusi tertulis Indonesia adalah Undang-undang Dasar
1945 yang mejadi hukum tertinggi di Indonesia sedangkan konstitusi tidak
tertulis yang dimiliki Indonesia adalah konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan
misalnya pidato presiden setiap tanggal 16 Agustus.
Konstitusi
tertulis negara Indonesia yaitu undang-undang dasar 1945 yang disusun oleh
pendiri negara, secara keberlakuan mengalami pasang surut sesuai dengan
kebijakan politik pada saat itu. Periodisasi keberlakuan tersebut menggambarkan
bahwa konstitusi yang menjadi fundamental atau dasar dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara benar-benar telah diuji dengan berbagai peristiwa dan kondisi
bangsa sesuai dengan dinamika sejarah yang berlangsung saat itu.
Sebagai
dasar hukum dasar, perumusan isinya disuse secara sistematis mulai dari
prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan
prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara beruntun.
Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan
hakikatnya sebagai hukum dasar serta bersifat terbuka sehingga memungkinkan
untuk menampung dinamika perkembangan zaman. Walaupun demikian, meskipun
perumusan undang-undang dasar bersifat garis besar, haruslah disusun agar
ketentuan yang diatur tidak multi interpretasi sehingga tidak dapat ditafsirkan
sewenang-wenang oleh para penyelenggara negara. Karena
itulah konstitusi di Indonesia pernah beberapa kali mengalami perubahan.
Sejarah
ketatanegaraan indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam
Undang-undang Dasar (Konstitusi) yaitu:
1. Undang-undang
Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949, yang berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950.
3. Undang-Undang
Dasar Sementara 1950, yang berlaku antara 17 agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4. Undang-Undang
Dasar 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sampai sekarang.
Ketiga
macam konstitusi yang pernah diberlakukan dan dijadikan dasar dalam
pemerintahan Indonesia menjadi salah satu bukti bahwa negara Indonesia yang
sekarang ini terus mencoba untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik
di dalam konstitusi negara agar bisa menciptakan dasar negara yang dapat
mewujudkan cita-cita dari bangsa indonsia. Semua hal tersebut dpat diwujudkan
apabila adanya semangat dan kemauan politik para penyelenggara negara. Akan
tetapi, jika penyelenggara negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak memiliki
tekad serta komitmen untuk mewujudka demokrasi itu maka hanya akan menjadi
sebatas retorika.
Dikarenakan
konstitusi Indonesia yang bersifat dinamis sehingga masih memungkinkan untuk
terjadinya perubahan pada konstitusi. Karena hal tersebutlah yang mengakibatkan
timbulnya pertanyaan dari sekian banyaknya lembaga negara yang manakah yang
memiliki kewenangan dalam merubah konstitusi. Karena tidak semua lembaga negara
diberikan kewenangan tersebut.
Sebelum
membahas mengenai hal tersebut, terlebih dahulu harus dipahami teori-teori yang
berhubungan dengan pembagian dan pemisahan kekuasaan negara. Hal ini
dimaksudkan agar lebih memperjelas bagaimana pembagian-pembagian kewenang
diantara lembaga tinggi negara.
Di
dalam buku Prof. Dr. Jimly Assiddiqie yang berjudul; pengantar ilmu hukum tata negara disebutkan bahwa salah satu cirri
negara hukum, yang dalam bahasa inggris disebut legal state atau state based
on the rule of law, dalam bahasa belanda dan jerman disebut rechsstaat, adalah cirri pembatasan kekuasaan negara.
Meskipun kedua istilah rechsstaat dan
rule of the law itu memiliki latar
belakang dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide
pembatasan kekuasaan. Pembatasn itu dilakukan dengan hukum yang kemudian
menjadi ide dasar paham kosntitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep
negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang
dibati oleh konstitus. Dalam koteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau
kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara
demokrasi yang berdasarkan atas hukum.
Lebih
lanjut untuk semakin memperjelas pembagian kekuasaan, prof. jimly mengutip dua
teori yang dikemukanan John Locke dan Montesquieu. Kedua tokoh tersebut sangat
berpengaruh pada zaman, bahkan hasil pemikiran-pemikiran mereka sampai sekarang
ini masih dipakai sebagai acuan dalam pembelajaran.
Menurut
Montesquieu, dalam bukunya ”L’Esprit des
Lois” (1748) yang mengikuti jalan pemikiran John Locke, membagi kekuasaan
negara dalam tiga cabang yaitu; kekuasaan legeslatife sebagai pembuat
undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakannya, dan kekuasaan untuk
menghakimi atau yufikatif. Dari klarifikasi Montesquieu inilh yang dikenal
pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legeslatif,
eksekutif dan yudisial.
Sebelumnya,
John Locke juga membagi kekuasaan negara kedalam tiga fungsi tetapi berbeda
isisnya. Menurutnya fungsi kekuasaan negara meliputi fungsi legeslatif, eksekutif
dan federatif.
Dalam
bidang legeslatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana tersebut tampaknya
mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John
Locke mengutamakan fungsi federatiif sedangkan Montesquieu mengutamakan fungsi
kehakiman atau yudisial.monteaquiue lebih melihat pembagaian atau pemisahan
kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John
Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan ke luar dengan
negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting
adalah fungsi federatif, sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan
ke dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu yang terkait dengan fungsi
pelaksanaan hukum.
Dalam
praktek ketatanegaraan Indonesia lebih condong menggunakan teori pembagian atau
pemisahan kekuasan yang dikemukakan oleh Montesquieu, di Indonesia kekuasaan
negara dibagi kedalam tiga fungsi kekuasaan, yaitu kekuasaan legeslatif,
eksekutif dan yudisial. Dikarenakan dalam teori trias politica dengan jelas disebutkan bahwa lembaga legeslatif lah
yang memiliki kewenangan dalam membuat undang-undang sehingga lembaga
legeslatif yang memiliki kewenangan dalam mengubah konstitusi, sebagaimana
tafsir dari konstitusi bahwa undang-undang adalah bagaian dari konstitusi
tertulis. Lembaga legeslatif di Indonesia terbgi atas lembaga DPR, MPR, dan
DPD, dari ketiga lembaga negara ini hanya MPR yang diberikan kewenangan dalam mengubah
undang-undang dasar.
MPR
melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dengan berpedoman pada ketentuan pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang mengatur prosedur perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Nasakah yang mejadi objek perubahan adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 juli 1959
oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor
75 Tahun 1959.
MPR
selaku lembaga tinggi negara yang memiliki kewenangan dalam mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki
batasan kewenangan. Diantaranya:
1. Tidak
mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Mempertahankan
sistem pemerintahan presidensial;
4. Penjelasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal
normatif akan dimasukan kedalam pasal-pasal;
5. Melakukan
perubahan dengan cara adendum.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
pernah melakukan empat kali perubahan pada konstitusi negara dengan menggunakan
tiga konstitusi berbeda, selama prose perubahan setiap konstitusi tersebut
sepak terjang lembaga negara MPR belum ada. Hal ini dikarenakan Undang-undang
dasar negara republik Indonesia tahun 1945 merupakan produk yang dihasilkan
oleh BPUPKI
dan PPKI.
Begitu pula dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 yang dirumuskan
oleh Panitia Urusan Ketatanegaraan dan Hukum Tatanegara serta melibatkan BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) dan
diberlakukan sejak tanggal27 Desember 1949. Sama halnya dengan Undang-Undang
Dasar Sementara yang disusun oleh panitia bersama.
Melalui
Dekrit Presiden Nomor 150 Tanggal 5 Juli Tahun 1959, berlakulah kembali
Undng-Undang Dasar 1945 di selurul wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Inilah kenyataan dari sejarah ketatanegraan Indonesia, MPR tidak terlibat dalam
perubahan konstitusi yang sudah terjadi selama empat kali sejak Indonesia
memprokalamasiakan kemerdekaannya. Kewenangan MPR untuk mengubah dan menetapkan
undang-undang dasar baru terlihat setelah reformasi Indonesia tepatnya ketika
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami amandemen
yang pertama pada tanggal 14-21 Oktober 1999, dilanjutkan dengan amandemen ke
dua tanggal 7-18 Agustus 2000, ketiga tanggal 1-9 November 2001 dan amandemen
keempat tanggal 1-11 Agustus 2002.
Daftar
Pustaka:
Abdullah
Marlang, Irwansyah & Kaisaruddin Kamaruddin. Pengenantar Hukum Indonesia. Makassar: AS Center. 2009.
Dahlan
Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda. Teori
Dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Hendarmin
Ranadireksa. Dianmika Konstitusi
Indonesia. Bandung: Fokusmedia. 2007.
Jimly
Assiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
MPR.
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI. 2016.
M.
Kusnardi & Bintan Saragih. Ilmu
Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005.
Pimpinan
MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara, Sekretariat.
Jakarta: Jendral MPR RI. 2012.
Taupikqurrohman
Syahuri. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek
Hukum. Jakarta: Kencana. 2011.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Comments
Post a Comment