Pengertian Tindak Pidana

Image
*Gambar oleh Succo dari Pixabay Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam hukum pidana, oleh karena itu istilah tindak pidana harus diartikan secara ilmiah dengan penentuan yang jelas agar dapat memisahkan dengan istilah yang dipergunakan sehari-hari dalam masyarakat. [1] Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam tulisan-tulisan para pakar hukum pidana Indonesia, sering juga digunakan istilah “delik” sebagai padanan dari istilah tindak pidana. Istilah “delik” berasal dari kata delict dalam bahasa Belanda, namun ada pula yang menggunakan istilah “perbuatan pidana” untuk tindak pidana. [2] Sehingga tindak pidana dapat diartikan sebagai prilaku yang melanggar kete

Berbeda Pandangan Politik Bukan Alasan Untuk "Menghakimi"

Photo by Deva Darshan on Unsplash
Aneh rasanya saya melihat beberapa orang, kelompok, golongan atau sebuah organisasi yang dengan mudahnya menyebut orang, kelompok, golongan atau organisasi lain dengan sebutan “haram” dan kafir”. Dua kata yang dalam konteks agama dikonotasikan sebagai hal-hal yang sangat negatif.
Jika ditelusuri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “haram” berarti “terlarang” dan “kafir” berarti “orang yang tidak percaya kepada allah”. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dua kata tersebut adalah dua kata yang tidak sepantasnya diucapkan dengan mudah apalagi jika ditujukan terhadap sebuah subyek tertentu.
Dalam pemahaman pribadi penulis baik itu dari segi ilmu pengetahuan secara umum maupun dalam ilmu agama yang pernah penulis pelajari, bahwa yang punya hak untuk menyebut “haram” dan “kafir” adalah zat yang maha kuasa yaitu tuhan yang dalam pandangan orang Islam adalah ALLAH SWT. Meskipun penulis tidak memiliki pemahaman terhadap konteks “haram” dan “kafir” dalam agama yang lain, tapi sebuah keyakinan bahwa yang mempunyai hak tersebut adalah tuhan yang mereka sembah bukan manusia yang berposisi sebagai umat maupun  sebagai pemuka agama.
Sangat tidak etis rasanya jika dengan mudahnya menyebut dua kata tersebut kepada orang, kelompok, golongan atau organisasi. Karena bisa saja apa yang terlihat dan terdengar sangat jauh berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Jika terjadi hal-hal yang menurut pandangan pribadi berindikasi dengan kata “haram”  dan  “kafir”, alangkah baiknya untuk tidak langsung “mengharamkan” dan “mengkafirkan”, pelajari lebih mendalam dan diskusikan.
Peristiwa yang sangat fenomenal adalah ketika mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok yang ketika itu masih menjabat dan akan mengikuti Pilkada untuk periode selanjutnya menyampaikan sebuah pidato disuatu tempat yang isinya berkaitan dengan suatu agama dan menurut beberapa orang itu dianggap sebagai suatu penistaan terhadap agama tersebut. Reaksi yang muncul terhadap pidato tersebut adalah adanya aksi damai yang dilakukan untuk menuntuk Ahok diproses hukum, dan pada saat ini telah diputus oleh pengadilan terbukti melakukan penistaan agama dan Ahok sementara menjalani masa penahanan. 
Kasus Ahok yang telah terjadi sekitar 1 tahun yang lalu inilah yang menurut penulis menjadi awal dari isu “haram” dan “kafir”. Yang pada saat sekarang ini sangat sering didengungkan dan dikait-kaitkan dengan pilpres yang akan dilaksanakan April 2019 mendatang.
Berdasarkan pantauan penulis di dunia maya khususnya sosial media baik itu Facebook, Twitter, Whatsaap, dan Instagram, istilah “kafir” dan “haram” sering digunakan dalam adu opini yang dilakukan oleh dua kubu pendukung antara petahana dan oposisi. Yang membuat miris adalah pokok pembahasan dalam adu oponi terseut bukanlah ide-ide, gagasas, inovasi atau lain-lain yang bersifat positif melainkan saling mencaci, menjatuhkan, menyebut kalimat-kalimat yang tidak sepantasnya diucapkan terhadap lawan bicara dan lebih parah adalah ketika menyebut lawan sebagai “hewan”. Meskipun pada kenyataan akun-akun yang paling sering dan paling banyak beradu opini adalah akun “anonim” yang tidak jelas identitasnya yang sepertinya dibuat khusus hanya untuk menghina calon presiden yang lain.
Memiliki pandangan politik dan pilihan calon yang berbeda bukanlah alasan untuk saling menjatuhkan, semua punya hak untuk memilih dan itu telah diamanatkan dalam konstitusi negara. Apakah kita sebagai pendukung Jokowi atau pendukung Prabowo. Kedua calon presiden tersebut adalah dua putra terbaik yang dimiliki Indonesia, keduanya mempunyai kapabilitas untuk memimpim Indonesia kedepannya. Siapapun yang nantinya akan menjabat sebagai presiden periode 2019-2024, sebagai warga negara Indonesia kita berkewajiban untuk menghormati pemerintah yang sah.
Berhenti untuk saling menghujat, menghina dan menjatuhkan satu sama lain, karena kita adalah Bangsa Indonesia yang diikat dalam Bhineka Tunggal Ika yang dipersatukan dalam jiwa Pancasila. Kita adalah bangsa yang merdeka bukan karena perjuangan satu golongan saja, tapi kita adalah bangsa yang bersatu karena perbedan. #KitaIndonesia

Disclaimer: tulisan ini murni pendapat saya pribadi, tidak ada maksud untuk merendahkan atau menjungjung tinggi suatu golongan.

Comments

Popular posts from this blog

Pantaskah Hukuman Mati Untuk Koruptor

Contoh Surat Tuntutan Pidana Penggelapan

Hubungan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pegadilan HAM Dengan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Resume Singkat: Advokasi

Lembaga Negara yang Berwenang Mengubah Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Kontrak Pemain Sepak Bola

Perubahan Konstitusi Beberapa Negara di Dunia

Hidup di Asrama Bagai Hidup dalam Sangkar

Pengertian Tindak Pidana

Drama Kasus Korupsi Negeri Ini (e-KTP)