Agama
sebagai landasan dasar kepercayaan seorang manusia terhadap zat yang mereka
yakini sebagai pencipta dirinya juga seluruh alam semesta, setiap agama
memiliki syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang
mempercayai dan/atau mengikatkan diri mereka kepada ketentuan sebuah agama. Di
dunia terdapat banyak agama dan kepercayaan namun khususnya di Indonesia
berdasarkan konstitusi dasar hanya lima agama yang diakui dan dilindungi
sebagai bagian dari hak asasi manusia yaitu hak untuk beragama. Kelima agama
tersebut diantaranya adalah Islam, Kristen, Hindu, Bundha dan Katolik, dan yang
sampai sekarang ini yang masih menjadi pembahasan adalah kepercayaan khonghucu
yang banyak dianut oleh masyarakat etnis tionghoa.
Ketika
seseorang memilih untuk menganut suatu agama maka orang tersebut menyatakan
diri mereka tunduk kepada segala aturan yang telah diatur dalam agama yang
mereka anut. Seperti halnya agama Islam, dimana dalam islam mengharuskan setiap
orang yang beriman untuk melaksanakan segala hal yang diperintahkan dan
menjauhi segala hal yang dilarang, karena tujuan utama dalam beragama adalah
mendapatkan kedamaian dalam kehidupan dunia dan kehidupan setelah di dunia
yaitu kehidupan akhirat. Agar kadar keagamaan seseorang bisa dikatakan sempurna
maka mereka harus menjalankan lima syarat yang dikenal sebagai rukun islam
yaitu membaca dua kalimat syahadat, sholat, puasa, zakat, dan naik haji bagi
yang mampu.
Syarat
atau rukun islam yang terakhir yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan
ini karena akan dikaitkan dengan status sosial dan realitas yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat bugis khususnya daerah Soppeng, Sulawesi selatan.
Ibadah
haji dalam pandangan masyarakat bugis terkesan sebagai suatu hal yang berkaitan
dengan kekayaan dan status sosial seseorang. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Karena ketika seseorang akan melaksanakan ibadah haji maka mereka harus
membayar sejumlah uang puluhan juta rupiah kepada Kementerian Agama sebagai
biaya akomodasi, paspor, dan kebutuhan lainnya selama menjalankan ibadah haji
di Tanah Suci. Beberapa hari sebelum keberangkatan akan diadakan acara
barasanji, barasanji ini merupaka suatu acara yang sejenis dengan doa bersama
yang di hadiri oleh tokoh masyarakat serta masyarakat sekitar tempat tinggal
yang bersangkutan, dalam pelaksanaannya tuan rumah atau orang yang akan
berangkat haji akan menyiapkan makanan untuk tamu yang jumlahnya bisa mencapai
seratus orang, sehingga otomatis memerlukan biaya tambahan yang harus
dikeluarkan. Ketika tamu akan pulang mereka akan bersalaman kepada orang yang
akan berangkat haji, salaman itu dibarengi dengan ucapan doa dengan harapan bisa
kembali ke kampung halaman dalam keadaan sehat serta haji yang dilaksanakan
mabrur, namun ada hal yang unik dalam salaman tersebut karena bukan hanya dua
tangan yang saling bersentuhan tetapi di antaranya terselip sebuah amplop yang
berisikan sejumlah uang.
Kesan
kemewahan belum sampai disitu, ketika pulang dari tanah suci sebagian besar
membawa souvenir atau barang-barang yang menjadi oleh-oleh yang kemudian akan
dibagikan kepada keluarga terdekat dan tetangga serta orang-orang yang
“bersalaman” sebelum keberangkatan, yang memberikan kesan kemewahan adalah
jumlah souvenir yang lumayan banyak yang totalnya bernilai jutaan rupiah.
Meskipun beberapa diantara barang-barang tersebut adalah produk yang dijual
oleh TKI asal Indonesia yang bekerja disana dan tidak menutup kemungkinan
merupakan barang impor dari Indonesia. Beberapa orang yang pernah berangkat
haji mengatakan bahwa jamaah haji yang berasal dari Sulawesi selatan ketika
mereka telah sampai di bandara atau asrama haji mereka akan berganti pakaian
yang terkesan mewah dengan warna yang mencolok serta mengenakan tutup kepala
yang disebut “songkok haji” sebagai pertanda bahwa telah melaksanakan ibadah
haji serta yang tidak akan ketinggalan adalah parfum yang identik dengan aroma
timur tengah.
Jika
melihat realitas dalam kehidupan masyarakat bugis khususnya soppeng, maka tidak
mengherankan jika kalimat rukun islam yang kelima mengatakan naik haji bagi
yang mampu. Karena yang bisa melaksanakan ibadah haji adalah mereka yang mampu
secara fisik dan rohani serta mampu dalam hal kuangan.
Selain
sebagai bagian dari perintah agama ibadah haji juga menjadi pendongkrak status
sosial seseorang, sering dijumpai dalam acara-acara seperti perkawinan, aqiqah
serta khitaman. Orang yang telah menyandang gelar haji akan diperlakukan lebih
istimewa dibandingkan dengan orang lain yang belum berstatus haji, keistimewaan
itu seperti ketika jamuan makan mereka didahulukan, panggilan yang lebih sopan,
duduk di kursi paling depan dan lain sebagainya. Dengan ini membutikan bahwa
ibadah haji selain sebagai perintah agama juga sebagai pendongkrak status
sosial dalam masyarakat.
Comments
Post a Comment