Puncak
dari tagedi trisakti dan merupakan tragedi terbesar yang terjadi pada 12 mei
1998 adalah tertembaknya empat orang mahasiswa trisakti oleh pihak kepolisian,
kempat korban tersebut diantaranya Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri
Hartanto, Hendriawan Sie. Akibat dari
teragedi tersebut banyak kalangan mahasiswa dan keluarga korban yang mendesak
pemerintah untuk bertanggung jawab atas penembakan yang menewaskan keempat
mahasiswa tersebut, namun dalam penyampaian tuntutan pihak keluarga mendapatkan
harus berjuang keras menghadapi beberapa rintangan baik yang bersifat politis
maupun legalistis formil.
Setelah
mendapat tekanan dari pihak keluarga korban dan mahasiswa, akhirnya pemerintah
pada tahun itu juga membentuk pengadilan militer untuk kasus Trisakti. Hasil
putusan dari pegadilan militer tersebut adalah menjatuhkan hukuman kepada enam
orang perwira pertama polri, kemudian ditahun 2002 pengadilan militer
menjatuhkan hukuman kepada Sembilan orang anggota Gegana/Resimen II Korps
Brimob Polri, ditahun berikutnya pengadilan militer kembali kembali menggelar
persidangan namun kali ini yang dibahas bukan mengenai kasus Trisakti melainkan
kasus Semanggi yang juga terjadi di tahun yang sama.
Hasil
putusan dari pengadilan militer tersebut masih menimbulkan kekecewaan dari
pihak keluarga korban, karena menurut mereka pengadilan hanya mengadili perwira
polri saja dan tidak menyeret pelaku penanggungjawab utama kedalam pengadilan
militer. Bukannya hanya itu pengadilan militer yang digelar merupakan
pengadilan yang bersifat internal. Sehingga pihak keluarga korban dan mahasiswa
terus melakukan desakan kepada pemerintah, kemudian untuk menanggapi desakan
tersebut pemerintah dalam hal ini DPR membentuk Pansus Trisakti pada tahun 2000
yang diberi tugas untuk memantau proses penyelesaian kasus Trisakti, namun
kembali keputusan Pansus membuat pihak keluarga korban kecewa karena menurut
Pansus tidak terjadi kasus pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti.
Dengan
alasan telah terjadi pelanggaran HAM berat pihak keluarga korban dan mahasiswa
mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki kasus tersebut. Kemudian dibentuklah KPP
HAM Trisakti pada tahun 2001, namun tetap menuai hambatan dikarenakan kesulitan
untuk mengakses informasi dari lembaga-lembaga negara maupun sikap
nonkooperatif institusi TNI dan Polri terhadap pemeriksaan anggotanya.
Berdasarkan laporan dari KPP HAM berdasarkan bukti-bukti yang telah dianggap
cukup dilaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa
Trisakti, penyelidikan ini didasarkan atas Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.
Dikarenakan
berkas penyidikan yang bolak-balik dari kejaksaan ke Komnas HAM, membuat
penanganan terhadap kasus Trisakti dianggap berjalan ditempat atau dengan kata
lain tidak terjadi perubahan.
1. Pengembalian
berkas episode pertama
Jaksa agung
mengembalikan berkas penyilidikan KPP HAM pada 21 Mei 2002, dengan surat
pengembalian berkas tidak dicantumkan jangka wkatu 30 hari untuk perbaikan
sesuia petunjuk. Alasan pengembalian berkas tersebut adalah; (a) BAP Komnas HAM
atas kasus tersebut hanya berupa transkip wawancara. Berita acara tersebut
dibuat dalam setiap tindakan pemeriksaan saksi, pengeledahan atau penangkapan.
(b) jaksa agung memepertanyakan mengenai sumpah jabatan sebagai penyelidik
karena hasil kerja KPP HAM belum dapat dikategorikan sebagai penyelidikan,
sebagaimana diatur dalam pasal 102 ayat 3 dan pasal 75 KUHPidana serta pasal 19
ayat 1 UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM.
2. Pengembalian
berkas episode kedua
Untuk kedua kalinya
jaksa agung mengembalikan tiga berkas penyelidikan dengan surat pengantar dari
jaksa agung untuk komnas HAM tertanggal 13 Agustus 2002, kali jaksa agung
mencantumkan batas waktu 30 hari perbaikan berkas penyelidikan. Dengan alasan
(a) jaksa agung mempersoalkan saksi dan penyelidik yang harus disumpah, urgensi
melakukan penyelidikan, kebangsaan dari para saksi dan tanda tangan (b)
dilembar ketiga angka III, jaksa agung mengingatkan bahwa kasus trisakti telah
divonis bersalah oleh mahkamah militer tinggi II di Jakarta.
3. Pengembalian
berkas episode ketiga
Untuk ketiga kalinya,
berkas penyelidikan Trisakti diserahkan kepada jaksa agung pada 14 september
2002. Namun kembali ada penolakan dari jaksa agung
Dari beberapa
alasan pengembalian berkas, pihak jaksa agung ingin menunjukan ketelitiannya
terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Tapi justru sebaliknya, dalam hal
pemeriksaan misalnya, istilah “pemeriksaan
terhadap saksi-saksi” sehubungan dengan kerja komnas HAM dan penyelidik
tidal dikenal dalam UU 26/2000. Penyelidik komnas HAM hanya berwenang memanggil
saksi untuk meminta dan didengar keterangannya, dan memanggil ihak terkait
memberi keterangan tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
aslinya. Begitu pula KUHAP, tidak ada satupun ketentuan yang menyebut istilah pemeriksaan saksi-saksi.
Perkara
penembakan mahasiswa yang terjadi di kampus
Trisakti sebelumnya memang pernah dibawa ke Mahkamah Militer. Akan
tetapi yang diperiksa oleh Mahkamah Militer bukanlah delik pidana pembunuhan
atau penembakan yang berakibat pembunuhan atau jatuhnya korban jiwa, melainkan
masalah internal militer dengan alasan kesalahan prosedur. Meskipun pada tahun
2001 juga digelar Mahkamah Militer untuk peristiwa pembunuhannya, cenderung
untuk menghindari proses hukum yang baru dimulai Komnas HAM dengan membentuk tim
penyelidik KPP HAM Trisakti, walau demikian putusan hakim itu belum memiliki
kekuatan hukum yang tetap.
Yang perlu
diingat, yang seharusnya dikejar dan dimintai pertanggungjawaban pidananya atas
peristiwa penembakan mahasiswa, warga sipil dan berbagai bentuk kekerasan dalam
kerusuhan Mei 1998 bukanlah individu-individu prajurit TNI/Polri yang berada di
lapangan, bukan pula orang-orang yang menerima atau melaksanakan perintah. Yang
seharusnya dimintai pertanggungjawaban pidananya adalah Komandan yang pada saat
itu menjabat atas tindakan pidana yang dilakukan oleh bawahan atau anak buahnya
(comman responsibility).
Pada tahun 2003,
upaya penyelesaian atas penembakana mahasiswa Trisakti seperti terhenti
ditempat, tidak ada kemajuan dalam proses hukumnya. Kasus penembakan yang
terjadi tahun 1998 tersebut terkatung-katung di Kejaksaan Agung dan Komnas HAM
sepanjang tahun 2002, hambatan yang paling besar adalah hambatan politis.
Keluarga korban
penembakan Trisakti meminta sikap tegas dari DPR untuk segera menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi dimasa lalu dalam peristiwa Trisakti 1998. Mereka
mendesak agar dikaji ulang perkara itu dalam waktu yang segera mungkin melalui
rapat paripurna. Mereka meminta komisi III untuk langsung mengajukan seluruh
sikap fraksi ke forum paripurna untuk diputuskan dan tidak melalui voting
individual untuk menutup peluang terjadinya deal politik status quo.
Pada 28 Juni
2005 setelah keluarga korban melakukan proses hukum yang cukup panjang demi
mendapatkan keadilan untuk keempat korban penembakan oleh oknum polri pada
kerusuhan tahun 1998, juga ditengah pergulatan melawan sikap DPR yang a lot dan
tidak pasti. Keluarga korban Trisakti bersama Rektor Universitas Trisakti dan Presma Trisakti bertemu dengan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pertemuan tersebut presiden SBY memberikan
apresiasi dan penghargaan kepada mahasiswa Trisakti yang menjadi korban pada
tragedi 12 Mei 1998. Melalui juru bicara presiden, presiden menyatakan
pemerintah akan mencoba mencarikan jalan bagaimana meletakkan teragedi Trisakti
itu dalam bingkai sejarah perjalanan bangsa dan bagaimana menarik pelajaran
besar dengan melakukan perubahan-perubahan serta melakukan penegakan hukum secara adil.
Presiden juga berpesan agar proses peradilan dilaksanakan secara bijak, adil,
cermat dan jelas. Kemudian 15 Agustus 2005 Presiden SBY menganugerahi tanda
kehormatan Bintang jasa Pratama kepada keempat mahasiswa korban penembakan
dalam peristiwa Trisakti Mei 1998.
Pada akhirya yang
ditetapkan bertanggung jawab atas peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti
adalah para perwira yang telah divonis bersalah oleh peradilan militer, padahal
sejatinya terdapat istilah comman
responsibility dimana seorang komandan yang memberi komando harus
bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh anak buahnya atau
bawahannya ketika melaksanakan perintah.
Comments
Post a Comment