Pengertian Tindak Pidana

Image
*Gambar oleh Succo dari Pixabay Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam hukum pidana, oleh karena itu istilah tindak pidana harus diartikan secara ilmiah dengan penentuan yang jelas agar dapat memisahkan dengan istilah yang dipergunakan sehari-hari dalam masyarakat. [1] Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam tulisan-tulisan para pakar hukum pidana Indonesia, sering juga digunakan istilah “delik” sebagai padanan dari istilah tindak pidana. Istilah “delik” berasal dari kata delict dalam bahasa Belanda, namun ada pula yang menggunakan istilah “perbuatan pidana” untuk tindak pidana. [2] Sehingga tindak pidana dapat diartikan sebagai prilaku yang melanggar kete

Penegakan Hukum Terhadap Kasus Trisakti 12 Mei 1998

Puncak dari tagedi trisakti dan merupakan tragedi terbesar yang terjadi pada 12 mei 1998 adalah tertembaknya empat orang mahasiswa trisakti oleh pihak kepolisian, kempat korban tersebut diantaranya Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto,  Hendriawan Sie. Akibat dari teragedi tersebut banyak kalangan mahasiswa dan keluarga korban yang mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab atas penembakan yang menewaskan keempat mahasiswa tersebut, namun dalam penyampaian tuntutan pihak keluarga mendapatkan harus berjuang keras menghadapi beberapa rintangan baik yang bersifat politis maupun legalistis formil.
Setelah mendapat tekanan dari pihak keluarga korban dan mahasiswa, akhirnya pemerintah pada tahun itu juga membentuk pengadilan militer untuk kasus Trisakti. Hasil putusan dari pegadilan militer tersebut adalah menjatuhkan hukuman kepada enam orang perwira pertama polri, kemudian ditahun 2002 pengadilan militer menjatuhkan hukuman kepada Sembilan orang anggota Gegana/Resimen II Korps Brimob Polri, ditahun berikutnya pengadilan militer kembali kembali menggelar persidangan namun kali ini yang dibahas bukan mengenai kasus Trisakti melainkan kasus Semanggi yang juga terjadi di tahun yang sama.
Hasil putusan dari pengadilan militer tersebut masih menimbulkan kekecewaan dari pihak keluarga korban, karena menurut mereka pengadilan hanya mengadili perwira polri saja dan tidak menyeret pelaku penanggungjawab utama kedalam pengadilan militer. Bukannya hanya itu pengadilan militer yang digelar merupakan pengadilan yang bersifat internal. Sehingga pihak keluarga korban dan mahasiswa terus melakukan desakan kepada pemerintah, kemudian untuk menanggapi desakan tersebut pemerintah dalam hal ini DPR membentuk Pansus Trisakti pada tahun 2000 yang diberi tugas untuk memantau proses penyelesaian kasus Trisakti, namun kembali keputusan Pansus membuat pihak keluarga korban kecewa karena menurut Pansus tidak terjadi kasus pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti.
Dengan alasan telah terjadi pelanggaran HAM berat pihak keluarga korban dan mahasiswa mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki kasus tersebut. Kemudian dibentuklah KPP HAM Trisakti pada tahun 2001, namun tetap menuai hambatan dikarenakan kesulitan untuk mengakses informasi dari lembaga-lembaga negara maupun sikap nonkooperatif institusi TNI dan Polri terhadap pemeriksaan anggotanya. Berdasarkan laporan dari KPP HAM berdasarkan bukti-bukti yang telah dianggap cukup dilaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, penyelidikan ini didasarkan atas Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.
Dikarenakan berkas penyidikan yang bolak-balik dari kejaksaan ke Komnas HAM, membuat penanganan terhadap kasus Trisakti dianggap berjalan ditempat atau dengan kata lain tidak terjadi perubahan.
1.      Pengembalian berkas episode pertama
Jaksa agung mengembalikan berkas penyilidikan KPP HAM pada 21 Mei 2002, dengan surat pengembalian berkas tidak dicantumkan jangka wkatu 30 hari untuk perbaikan sesuia petunjuk. Alasan pengembalian berkas tersebut adalah; (a) BAP Komnas HAM atas kasus tersebut hanya berupa transkip wawancara. Berita acara tersebut dibuat dalam setiap tindakan pemeriksaan saksi, pengeledahan atau penangkapan. (b) jaksa agung memepertanyakan mengenai sumpah jabatan sebagai penyelidik karena hasil kerja KPP HAM belum dapat dikategorikan sebagai penyelidikan, sebagaimana diatur dalam pasal 102 ayat 3 dan pasal 75 KUHPidana serta pasal 19 ayat 1 UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM.
2.      Pengembalian berkas episode kedua
Untuk kedua kalinya jaksa agung mengembalikan tiga berkas penyelidikan dengan surat pengantar dari jaksa agung untuk komnas HAM tertanggal 13 Agustus 2002, kali jaksa agung mencantumkan batas waktu 30 hari perbaikan berkas penyelidikan. Dengan alasan (a) jaksa agung mempersoalkan saksi dan penyelidik yang harus disumpah, urgensi melakukan penyelidikan, kebangsaan dari para saksi dan tanda tangan (b) dilembar ketiga angka III, jaksa agung mengingatkan bahwa kasus trisakti telah divonis bersalah oleh mahkamah militer tinggi II di Jakarta.
3.      Pengembalian berkas episode ketiga
Untuk ketiga kalinya, berkas penyelidikan Trisakti diserahkan kepada jaksa agung pada 14 september 2002. Namun kembali ada penolakan dari jaksa agung
Dari beberapa alasan pengembalian berkas, pihak jaksa agung ingin menunjukan ketelitiannya terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Tapi justru sebaliknya, dalam hal pemeriksaan misalnya, istilah “pemeriksaan terhadap saksi-saksi” sehubungan dengan kerja komnas HAM dan penyelidik tidal dikenal dalam UU 26/2000. Penyelidik komnas HAM hanya berwenang memanggil saksi untuk meminta dan didengar keterangannya, dan memanggil ihak terkait memberi keterangan tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai aslinya. Begitu pula KUHAP, tidak ada satupun ketentuan yang menyebut istilah pemeriksaan saksi-saksi.
Perkara penembakan mahasiswa yang terjadi di kampus  Trisakti sebelumnya memang pernah dibawa ke Mahkamah Militer. Akan tetapi yang diperiksa oleh Mahkamah Militer bukanlah delik pidana pembunuhan atau penembakan yang berakibat pembunuhan atau jatuhnya korban jiwa, melainkan masalah internal militer dengan alasan kesalahan prosedur. Meskipun pada tahun 2001 juga digelar Mahkamah Militer untuk peristiwa pembunuhannya, cenderung untuk menghindari proses hukum yang baru dimulai Komnas HAM dengan membentuk tim penyelidik KPP HAM Trisakti, walau demikian putusan hakim itu belum memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Yang perlu diingat, yang seharusnya dikejar dan dimintai pertanggungjawaban pidananya atas peristiwa penembakan mahasiswa, warga sipil dan berbagai bentuk kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998 bukanlah individu-individu prajurit TNI/Polri yang berada di lapangan, bukan pula orang-orang yang menerima atau melaksanakan perintah. Yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban pidananya adalah Komandan yang pada saat itu menjabat atas tindakan pidana yang dilakukan oleh bawahan atau anak buahnya (comman responsibility).
Pada tahun 2003, upaya penyelesaian atas penembakana mahasiswa Trisakti seperti terhenti ditempat, tidak ada kemajuan dalam proses hukumnya. Kasus penembakan yang terjadi tahun 1998 tersebut terkatung-katung di Kejaksaan Agung dan Komnas HAM sepanjang tahun 2002, hambatan yang paling besar adalah hambatan politis.
Keluarga korban penembakan Trisakti meminta sikap tegas dari DPR untuk segera menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi dimasa lalu dalam peristiwa Trisakti 1998. Mereka mendesak agar dikaji ulang perkara itu dalam waktu yang segera mungkin melalui rapat paripurna. Mereka meminta komisi III untuk langsung mengajukan seluruh sikap fraksi ke forum paripurna untuk diputuskan dan tidak melalui voting individual untuk menutup peluang terjadinya deal politik status quo.
Pada 28 Juni 2005 setelah keluarga korban melakukan proses hukum yang cukup panjang demi mendapatkan keadilan untuk keempat korban penembakan oleh oknum polri pada kerusuhan tahun 1998, juga ditengah pergulatan melawan sikap DPR yang a lot dan tidak pasti. Keluarga korban Trisakti bersama Rektor Universitas Trisakti  dan Presma Trisakti bertemu dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pertemuan tersebut presiden SBY memberikan apresiasi dan penghargaan kepada mahasiswa Trisakti yang menjadi korban pada tragedi 12 Mei 1998. Melalui juru bicara presiden, presiden menyatakan pemerintah akan mencoba mencarikan jalan bagaimana meletakkan teragedi Trisakti itu dalam bingkai sejarah perjalanan bangsa dan bagaimana menarik pelajaran besar dengan melakukan perubahan-perubahan serta  melakukan penegakan hukum secara adil. Presiden juga berpesan agar proses peradilan dilaksanakan secara bijak, adil, cermat dan jelas. Kemudian 15 Agustus 2005 Presiden SBY menganugerahi tanda kehormatan Bintang jasa Pratama kepada keempat mahasiswa korban penembakan dalam peristiwa Trisakti Mei 1998.
Pada akhirya yang ditetapkan bertanggung jawab atas peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti adalah para perwira yang telah divonis bersalah oleh peradilan militer, padahal sejatinya terdapat istilah comman responsibility dimana seorang komandan yang memberi komando harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh anak buahnya atau bawahannya ketika melaksanakan perintah.

Comments

Popular posts from this blog

Pantaskah Hukuman Mati Untuk Koruptor

Contoh Surat Tuntutan Pidana Penggelapan

Hubungan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pegadilan HAM Dengan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Lembaga Negara yang Berwenang Mengubah Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Resume Singkat: Advokasi

Perubahan Konstitusi Beberapa Negara di Dunia

Kontrak Pemain Sepak Bola

Hidup di Asrama Bagai Hidup dalam Sangkar

Pengertian Tindak Pidana

Drama Kasus Korupsi Negeri Ini (e-KTP)