Pengertian Tindak Pidana

Image
*Gambar oleh Succo dari Pixabay Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam hukum pidana, oleh karena itu istilah tindak pidana harus diartikan secara ilmiah dengan penentuan yang jelas agar dapat memisahkan dengan istilah yang dipergunakan sehari-hari dalam masyarakat. [1] Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam tulisan-tulisan para pakar hukum pidana Indonesia, sering juga digunakan istilah “delik” sebagai padanan dari istilah tindak pidana. Istilah “delik” berasal dari kata delict dalam bahasa Belanda, namun ada pula yang menggunakan istilah “perbuatan pidana” untuk tindak pidana. [2] Sehingga tindak pidana dapat diartikan sebagai prilaku yang melanggar kete

Peran Whistleblower (pengungkap) dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia


A.    Pengantar
Salah satu kejahatan yang termasuk kedalam kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime adalah tindak pidana korupsi. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena menimbulkan efek kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat Indonesia, kejahatan korupsi bisa disejajarkan dengan kejahatan terorisme yang membutuhkan penanganan yang lebih khusus.
Ada sebuah jurnal asing yang mengatakan bahwa corruption is way of life in Indonesia, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia. Mungkin komentar majalah asing tersebut menyakitkan, akan tetapi jauh sebelumnya tidak kurang dari Dr. Moh. Hatta, seorang wakil presiden republik Indonesia, pada akhir tahun enam puluhan atau awal tujuh puluhan pernah mengatakan bahwa korupsi sudah cenderung membudaya di kalangan bangsa Indonesia. Sekarang apa yang dikhawatirkan Hatta tersebut telah menjadi kenyataan, bahwa skala korupsi telah menjadi demikian menggurita dan bisa dikatakan bukan saja korupsi telah membudaya, namun juga telah melembaga. Telah mengalami proses institusionalisme, sehingga hampir-hampir tidak ada lembaga Negara atau pemerintahan yang bebas dari penyakit korupsi.[1]
            Kasus korupsi di Indonesiai terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, seperti yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui situs resminya pada tanggal 24 Februari 2016 yang lalu, tercatat ada 550 kasus korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH) dengan total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi kerugian Negara dari seluruh kasus tersebut sebesar Rp 3,1 Triliun dan nilai suap sebesar Rp 450,5 Miliar.
            Seiring meningkatnya kasus korupsi yang melanggar pasal 2 dan pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi yang memuat tentang kategori perbuatan yang bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Maka diperlukan beberapa upaya yang harus dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi, akhir-akhir ini muncul istilah whistle blower sebagai salah satu upaya dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi.[2]
            Biasanya pelaku tindak pidana korupsi adalah pejabat-pejabat yang memiliki kedudukan ekonomi dan politik yang kuat. Sehingga untuk bisa mengungkap itu semua dibutuhkan sanksi yang mengetahui secara langsung tindak pidana tersebut baik ia terlibat langsung didalamnya atau tidak dan memiliki keberanian untuk mengungkap fakta yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Orang inilah yang disebut sebagai whistle blower  atau “peniup peluit”.[3]
B.     Pengertian dan sejarah whistleblower
1.      Pengertian whistleblower
            Dikaji dari persfektif terminologinya istilah whistle blower bisa diartikan sebagai “peniup peluit”  namun ada juga yang menyebutnya sebagai “saksi pelapor”,  “pengadu”,  “pemukul kentongan” , “cooperative  whistleblower” dan “participant  whistleblower”.[4] Istilah whistle blower dalam bahasa inggrisnya juga diartikan sebagai “peniup peluit”, dikatakan demikian karena sebagaimana halnya seorang wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai fakta pengungkapan adanya pelanggaran yang terjadi dalam pertandingan tersebut. Sedangkan dalam sisi hukum khususnya dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi “peniup peluit” diartikan sebagai orang yang mengungkapkan sebuah fakta pada kepada publik bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi.
Whistleblower biasanya adalah orang yang bekerja sebagai karyawan, mantan karyawan atau pekerja serta orang-orang yang bekerja di suatu institusi atau organisasi khususnya organisasi pemerintahan. Orang inilah yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan undang-undang kepada penyidik atau pihak yang berwenang. Secara umum tindakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berarti tindakan tersebut dianggap telah melanggar hukum, aturan, dan persyaratan yang bisa menjadi sebuah ancaman bagi publik atau ancaman terhadap keamanan publik, salah satu yang termasuk adalah tindak pidana korupsi. Sebenarnya istilah whistle blower bukanlah hal yang baru di Indonesia melainkan sesuatu yang sudah lama ada, namun dulunya hanya disebutkan sebagai saksi saja sehingga masih ada kalangan masyarakat yang belum memahami apa sebenarnya whistleblower itu sendiri.
Dalam peraturan pemerintah nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khususnya dalam pasal 2 yang berbunyi “Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi”.[5] Dengan kata lain bahwa whistleblower adalah orang yang memberikan suatu informasi kepada penegak hukum atau lembaga yang berwenang bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi.
Whistleblower dalam pengungkapan kasus korupsi menyandang status sebagai saksi selama ia tidak terlibat langsung dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut. Dalam undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban pengertian whistleblower tidak dijelaskan secara khusus namun dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan tentang pengertian saksi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.[6]
Juga dijelaskan dalam surat edaran Mahkama Agung Republik Indonesia nomor 04 tahun 2014 tentang Perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertetu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama merupakan pelaku salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, buka pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradian.[7]
2.      Sejarah wistleblower
Menurut sejarahnya, whistle blower sangat erat kaitanya dengan organisasi-organisasi mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar yang ada di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut sebagai  Sicilian Mafia atau Cosa Nostra. Kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh para Mafioso (sebutan terhadap anggota-anggota mafia) yang bergerak dibidang perdagangan heroin dan mulai berkembang diberbagai belahan dunia, sehingga sekarang ini banyak dikenal beberapa organisasi-organisasi mafia dari beberapa Negara seperti mafia di Rusia, Cartel di Colombia, Triad di China, dan yang paling terkenal Yakuza di Jepang. Organisasi-organisasi tersebut memiliki kekuatan dalam jaringan sehingga anggota-anggota mereka bisa menguasai berbagai sektor kekuasan, mulai dari sektor ekonomi, politik, dan bahkan aparat penegak hukum.
Mafia yang merupakan kejahatan terorganisir memiliki sumber kekuatan yang lebih baik dibandingkan dengan agen pemerintah. Sumber-sumber pengaman mafia ini tidak hanya terdiri dari polisi kotor tetapi juga hakim-hakim yang mereka bayar. Para mafia bahkan memiliki akses dan membayar orang-orang di lembaga pemerintah lainnya. Bukan hanya suap yang membuat para anggota mafia aman, tetapi juga setiap anggota mafia yang tertangkap selalu bungkam, menolak memberikan informasi, dan menjaga semua informasi yang disebut hukum tutup mulut yang berlaku bagi kalangan mafia (omerta ). Satu-satunya cara untuk menghancurkan omerta ini adalah dengan membawa orang dalam organisasi mafia untuk bersaksi di pengadilan dengan menawarkan sebuah jalan keluar, menyediakan jaminan perlindungan hukum dan jaminan keamanan dari aksi pembalasan para gengster lainnya[8]
Besar kemungkinan suatu sindikat organisasi mafia tersebut bisa terbongkar karena adanya salah seorang dari anggota mereka yang melakukan tindakan penghianatan terhadap organisasinya. Artinya, salah seorang dari mereka yang melakukan penghianatan tersebut dianggap sebagai peniup peluit (whistleblower) untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalanya whistleblower tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum selama ia hanya berstatus sebagai saksi..
Di berbagai Negara didunia istilah whistleblower mulai berkembang dengan seperangkat aturan masing-masing yang mengikatnya, seperti:
a)      Amerika Serikat, whistleblower diatur dalam whistleblower Act 1989, whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindakan diskriminasi.
b)      Afrika Selatan, whistleblower diatur dalam pasal 3 Protected Dsdosure Act Nomor 26 tahun 2000, whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan
c)      Canada, whistleblower diatur dalam section 425.1 criminal code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerjaan yang memberikan informasi.
d)     Australia, whistleblower diaur dalam pasal 20 dan pasal 21 Protected Dsdosures Act  1994. Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada peryanggung jawaban secara pidana atau perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.
e)      Inggris, whistleblower diatur pasal 1 dan pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecat dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.[9]
Di Negara Indonesia sendiri istilah whistleblower menjadi populer ketika seorang mantan pejabat yang bernama Susno Duaji mengungkapkan kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Publik mungkin masih ingat dengan kasus Susno Duadji yang mengungkap adanya mafia kasus dan mafia pajak di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang sangat erat hubungannya dengan rekening-rekening gendut yang mengisi saldo para petinggi Polri. Tetapi dalam proses hukumnya Susno Duadji justru diskemakan untuk mendapatkan hukuman dari kasus pilkada Jawa Barat. Terlepas dari benar atau tidaknya Susno Duadji juga melakukan hal yang sama, tapi setidaknya hal ini perlu diapresiasi karena berdasarkan hal yang diungkapkannya secara luas, menjadikan mata khalayak umum atau orang-orang awam yang selama ini buta dengan kondisi sebenarnya didalam tubuh lembaga negara menjadi sedikit paham dan mungkin sedikit sadar mengapa negara ini tidak maju-maju. Kasus ini menunjukan bahwa pentingan keberadaan seorang whistleblower dalam poses pemberantas tindak pidana korupsi.
C.    Perbedaan whistleblower dengan justice collaborator
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang bertindak sebagai seorang saksi bukan hanya whistleblower saja namun ada juga istilah lain yang memiliki peran dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu justice collaborator. Kedua istilah ini menyandang status sebagai seorang saksi namun diantara keduanya memiliki perbedaan. Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui perbedaan antara whistleblower dengan justice collaborator. Sebagian orang menganggap kedua istilah ini memiliki perngertian yang sama namun memiliki perbedaan yang jelas.
Dalam tindak pidana korupsi whistleblower merupakan saksi pelapor yang melaporka terjadinya tindak pidana kepada penyidik atau pihak yang berwenang dan dia sendiri tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut. Beda halnya dengan justice collaborator, dia juga berperan sebagai saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi akan tetapi dia juga terlibat langsung atau menjadi bagian dari tindak pidana tersebut namun bukan merupakan pelaku utama.
Istilah whistleblower dalam bahasa inggris yang dapat diartikan sebagai “peniup peluit”. Berbeda dengan istilah justice collaborator yang dalam bahasa inggris diartikan sebagai “pembocor rahasia”. Kata justice collaborator sebenarnya diadopsi dari Amerika sehingga tidak ditemukan dalam KUHPidana Indonesia. Pengertian justice collaborator dalam surat edaran Mahkama Agung Nomor 4 Tahun 2011 adalah seorang yang merupakan salah satu dari pelaku tindak pidan, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejhatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan  yang sangat signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.[10]
Justice collaborator adalah pelaku yang bekerjasan yaitu orang baik dalam status saksi, pelapor atau informan yang memberikan bantuan kepada  penegak hukum misalnya dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti kuat atau keterangan/kesaksian di bawah
sumpah, yang dapat mengungkap suatu tindak pidana, dimana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut atau bahkan suatu tindak pidana lainnya.[11]
            Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM dalam diskusi di Auditorium Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 16 Mei 2012 mengatakan bahwa whistleblower tidak terlibat dalam kasus pidana yang diungkapkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan bagian dari pelaku atau kelompok kejahatan yang terjadi.
            Senada dengan Denny Indrayana, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa whistleblower bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang diungkapkannya, tetapi jika dia merupakan bagian dari pelaku yang diungkapkannya maka dirinya merupakan justice collaborator. Abdul Haris menjelaskan bahwa Susno Duadji merupakan contoh whistleblower, meskipun Susno Duadji menjadi pelaku kejahatan tetapi pada kasus yang bebeda dengan fakta yang diungkapnnya. Menurut Abdul Haris penyidik kurang memperhatikan waktu (timing)-nya menjerat Susno Duadji dalam kasus Arwana dan Pilkada Jawa Barat, karena penetapan Susno Duadji menjadi tersangka dapat membungkam kehadiran whistleblower lainnya karena pengusutan kasus Susno Duadji dapat diduga merupakan pembalasan oleh oknum pelaku yang dilaporkan oleh Susno Duadji. Meskipun demikian Susno Duadji diberlakukan sebagai Justice Collaborator karena hukummnya diringankan oleh Hakim menjadi 3,5 tahun, yang semula dituntut 7 tahun oleh jaksa penuntut umum.[12]
            Syarat untuk sesorang dapat dikatakan sebagai whistleblower dan justice collaborator yaitu:
1)      Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana serius dan atau terorganisir seperti, korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, tindak pidana pencucian uang, dan perdagangan manusia.
2)      Keterangan yang diberikan signifikan, relevan dan andal. Keterangan yang diberikan benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga memudahkan kinerja aparat hukum.
3)      Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama dalam perkara tesebut, karena kehadirannya sebagai justice collaborator adalah untuk mengungkapkan siapa pelaku utama dalam kasus tersebut. Dia hanya memiliki peran yang sedikit dalam tindak pidana tesebut tetapi memiliki pengetahuan yang  banyak tentang perkara tersebut.
4)      Dia mengakui perbuatannya di depan hukum dan bersedia mengembalikan asset yang diperolehnya dengan cara kejahatan itu secara tertulis.
5)      Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dilaporkan secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset atau hasil tindak pidana.[13]
D.    Peran whistleblower dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi
Berkembangnya jumlah kasus tindak pidana korupsi setiap tahun mengakibatkan modus tindak pidana korupsi menunjukan skala yang besar, kenyataan ini lah yang menyebabkan proses pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan tindakan yang lebih diluar cara-cara yang biasa digunakan. Salah satu  cara yang bisa digunakan untuk mengungkap kejahatan tindak pidana korupsi yang terorganisir. Maka diperlukan peran seorang whistleblower yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut sehungga mempermudah penyidik dalam menuntaskan tindak pidana tersebut.
Menurut Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tidak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan Whistlebloweritu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada laporan seorang Whistleblower harus hati-hati menerimannya , tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan harus diuji dahulu.[14] 
Whistleblower sangat berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi didalam suatu oeganisasi, institusi pemerintah atau badan pemerintah karena whistleblower merupakan orang yang berada dalam organisasi atau pemerintahan tersebut.
Dalam konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarekan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas prakik korupsi. Sebab secara yuridis normatif, berdasarkan UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Ada beberapa kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang berhasil diungkap oleh para penyidik dan pihak yang berwenang karena adanya pengakuan yang dilakukan oleh seorang whistleblower, diataranya adalah kasus Susno Duaji yang mengungkap kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, kasus dana bantuan sosial yang melibatakan gubernur Sumatra utara Gatot Pujo Nugroho dan pengacara kondang OC Kaligis serta kasus wisma atlet.
E.     Perlindungan hukum terhadap whistleblower
Menjadi seorang whistleblower dan justice collaborator bukanlah perkara yang sangat mudah, banyak hal yang harus mereka hadapi dalam mengungkap kasus tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi. Mulai dari banyaknya teror yang mereka terima, pemutusan hubungan kerja dari tempat mereka bekerja, ancama terhadap keselamatan jiwa dan keluarganya serta kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru. Oleh karena itu diperlukan aturan hukum untuk melindungi whistleblower.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.[15] Menurut lili rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.[16] Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.[17]
Kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi. Secara yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
            Di Indonesia sendiri belum ada aturan atau undang-undang yang secara khusus mengatur  tentang perlindungan tehadap  whistleblower, aturan yang ada hanya menjelaskan tentang perlindungan hukum terhadap saksi dan kombar.
            Ada pun dasar hukum yang bisa digunakan untuk memberikan perlindungan kepada whistleblower sebagai reward atas keberaniannya dalam mengungkap sebuah kasus tindak pidana korupsi yang ia ketahui, diantaranya:
1)      United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang konvensi PBB anti korupsi
Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian penting sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan negara tersebut.[18]
Untuk memberlakukan UNCAC di Indonesia maka pemerintah Negara republik Indonesia meratifikasi konvensi tersebut melalui undang-undang nomor 7 tahun 2006. Undang-undang ini di sahkan pada tanggal 18 april 2006 dan di tanda tangani langsung oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perlindungan terhadap saksi pelapor terdapat dalam pasal 37 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini”.[19]
Dalam pasal 37 diatas mewajibkan setiap Negara yang telah meratifikasi konvensi PBB tersebut untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi pelapor atau orang yang memberikan kerjasama dalam proses penyidikan kasus tindak pidana sesuai dengan hukum nasional yang berlaku disetiap Negara dalam hal ini undang-undang tentang perlindungan saksi korban, dalam masalah justice collaborator diberikan kekebalan hukum atau bebas dari penuntutan selama ia bisa memberikan kesaksian kepada penyidik. Tapi di Indonesia orang yang termasuk kedalam golongan saksi pelapor yang terlibat tetap dikenakan hukuman namun kesaksiannya dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim untuk pengurangan hukuman.
2)      United Nation Convention Against Transnasinal Organized Crime (UNTOC)/ konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir diratifikasi dengan undang-undang nomor 5 tahun 2009
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi) menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api.[20]
 Konvensi ini juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat berbeda. Meskipun kejahatan perdagangan gelap narkoba tidak dirujuk dalam Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga Konvensi terkait narkoba sebelum disepakatinya UNTOC. Tapi yang menjadi pembahasan utama adalah kejahatan tindak pidana korupsi.
Adapun perlindungan hukum yang diatur dalam UNTOC terhadap saksi pelapor terdapat dalam pasal 24 ayat (1) yang berbunyi “Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dalam batas kemampuannya, untuk memberikan perlindungan efektif dan kemungkinan
pembalasan atau intimidasi terhadap saksi-saksi dalam proses pidana yang
memberikan kesaksian mengenai tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi ini dan, jika patut, bagi keluarga mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka”.
Sebenarnya undang-undang ini tidak menyebutkan whistleblower dengan jelas tapi konvensi ini menyatakan dengan dengan jelas bahwa setiap Negara harus memberikan perlindungan hukum kepada seorang saksi dan juga keluarganya. Dalam hakikatnya seorang whistleblower menyandang status sebagai seorang saksi dalam tindak pidana korupsi sehingga dia juga harus mendapatkan perlindungan hukum dari Negara berdasarkan pasal 24 ayat (1) diatas.
3)      Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur tentang perlindungan terhadap seorang whistleblower, melainkan hanya mengatur secara tegas perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana.
Dalam pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa “Seorang saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan”. Yang dimaksud sebagai seorang pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.[21] Dalam pasal ini hanya memberikan perlindungan kepada seseorang pada saat statusnya sebagai saksi karena dalam ayat selanjutnya mengatakan apabila saksi tersebut terbukti terlibat dalam tidak pidana tersebut maka dia tetap dihukum tapi kesaksiannya menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman.
4)      Surat Edaran Mahkama Agung nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Latarbelakang lahirnya SEMA ini adalah karena sebelumnya tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara eksplisit menyebutkan tentang perlindungan hukum terhadap whistleblower maka ada tanggal 10 Agustus 2011 Mahkama Agung mengeluarkan surat edaran yang mengatur tentang perlakuan terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) didalam perkara tindak pidana tetentu.
Dalam butir ke delapan surat edaran ini disebutkan dengan jelas siapa itu whistleblower, yaitu:
a)      Yang bersangkutan merupakan pihakyang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan pelaku kejahatan yang dilaporkan
b)      Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penangan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan disbanding laporan terlapor.[22]
Kemudian di butir sebelumnya ditegaskan bahwa seorang hakim yang menemukan adanya whisleblower dalam tindak pidana maka hakim tersbut harus memberikan perlakuan khusus bagi orang tersebut salah satunya yaitu perlindungan hukum. Dengan adanya surat edaran ini maka perlindungan hukum bagi seorang whistleblower di Indonesia sudah menemukan titik terang, sehingga kedepannya peran seorang whistleblower bisa lebih ditingkatkan agar pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bisa berjalan dengan baik.
5)      Peraturan bersama aparat penegak hukum dan LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerjsama
Adapun selanjutnya yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam memberikan perlindungan kepada seorang whistlebloweri adalah peraturan bersama aparat penegak hukum dan LPSK ini. tujuan dari dibentuknya adalah mewujudkan kerja sama yang baik antara aparat penegak hukum dan lembaga perlindungan saksi dan korban dalam mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi.
Sehubungan dengan ini maka diharapkan agar saksi tersebut mendapatkan rasa aman dari tekanan fisik dan mental sehingga bisa mempermuda penyidik dalam mendapatkan informasi selama proses penyidikan tindak pidana yang dimaksud.
Dengan hadirnya beberapa dasar hukum diatas yang bisa dijadikan sebagai perlindungan hukum bagi seorang saksi maka diharapkan kedepannya agar masyrakat mau dengan berani menyampaikan kepada penyidik tentang suatu perbuatan tindak pidana yang diketahuinya yang khususnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan umumnya segala jenis tindakan-tindakan yang melanggar hukum.




















Daftar Pustaka
Buku:
Muhammad Sayuti dan Edy Suandi Hamid. 1999.  Korupsi, Kolusi, dan Nopotisme di Indonesia. Yogyakarata: Aditya Media

Nurul Ghufron. 2014. Whistlebower Dalam Sistem Peradilan Pidana. Surabaya: Pustaka Raja

Jurnal:
Nixon, Syafruddin kalo, dkk. 2013. “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Vol.II-No.2. USU Law Jurnal

Syafriana Novi Astuti. 2014. “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi”. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya

Dewa Saputra. 2013. “Jaminan Kekebalan Hukum Bagi Saksi Pelaku”. Vol.I/No. 2. Lex Et Societatis

Skripsi:
Septian Pradipta Nugraha. 2010. “perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi”. Skripsi. Universitas Brawijaya.

Undang-undang:
PP No. 71 tahun 2000.
UU No. 13 tahun 2006
UU No. 7 tahun 2006
UU No. 5 tahun2009
SEMA No. 4 tahun 2011

Website:







[1] Sayuti, Muhammad dan Suandi Hamid, Edy. Korupsi, kolusi, dan nopotisme di Indonesia (yogyakarata: Aditya Media, 1999) hlm ix
[2] Novi Astuti, Syafriana. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Whestle Bwoler Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi. Universitas Atma Jaya, dapat diakses pada http://e-journal.uajy.ac.id/5975/ diunduh pada Jumat, 23 September 2016, pukul 14:24 WITA.
[3] Nixson., Syafruddin Kalo., Tan Kamello & Mahmud Mulyadi. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. USU Law Jurnal. Volume 2, No. 2. Dapat diakses pada http://202.0.107.5/index.php/law/article/view/5322 diunduh pada Jumat, 23 September 2016 pukul 14:26 WITA
[4] Wisnu Mulyadi, Aditya. Perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi. Tesis. Universitas Udayana. 2015. Hlm 2. Dapat diakses pada https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1390561025-2-Bab%20I%20Tesis.pdf diakses pada Sabtu, 24 September 2016 pukul 13:15 WITA.
[5] Lihat PP No. 71 tahun 2000.
[6] Lihat UU No. 13 tahun 2006.
[7]Firman Wijayah. 2012. Whistle Blower Dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum. (Jakarta: Penaku) hlm 23.
[8] Nixson., Syafruddin Kalo., Tan Kamello & Mahmud Mulyadi. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. USU Law Jurnal. Volume 2, No. 2. Dapat diakses pada http://202.0.107.5/index.php/law/article/view/5322 diunduh pada Jumat, 23 September 2016 pukul 14:26 WITA.
[9] Vivi, Reva. Makalah Tentang Whistleblower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dapat diakses pada http://topihukum.blogspot.co.id/2013/12/makalah-tentang-whistleblower-dalam.html diunduh pada Sabtu, 24 Sebtember 2016 pukul 19:41 WITA.
[10] Mahkama Agung Republik Indonesia, surat edaran nomor 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) di dalam perkara pidana tertentu.
[11]Satgas Pemberantas Mafia Hukum. Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama(Justice Collaborator) : Usulan Dalam Rangaka Revisi Uu Perlindungan Saksi Dan Korban. (Jakarta: satgas pemberantasan mafia hukum). 2011. Hlm 3

[12] Nixson., Syafruddin Kalo., Tan Kamello & Mahmud Mulyadi. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. USU Law Jurnal. Volume 2, No. 2. Hlm 47 Dapat diakses pada http://202.0.107.5/index.php/law/article/view/5322 diunduh pada Jumat, 23 September 2016 pukul 14:26 WITA
[13] Gabriel francius silaen, peran justice collaborator dalam pembuktian tindak pidana korupsi. hlm 5

[14] Vivi, Reva. Makalah Tentang Whistleblower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dapat diakses pada http://topihukum.blogspot.co.id/2013/12/makalah-tentang-whistleblower-dalam.html diunduh pada Sabtu, 24 Sebtember 2016 pukul 19:41 WITA.
[15] Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000). Hlm 54
[16] Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung, Remaja Rusdakarya, 1993). Hlm 118
[17] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991). Hlm 55
[18] Apriliani. 2015. Kerjasama Internasional Dalam Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Hlm 23 dapat diakses pada repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/52442/3/Chapter%20II.pdf di unduh pada Selasa, 27 Sebtember 2016 pukul 16:29 WITA.
[19] Frans winarta. 2012. Justice Collaborator Bukan untuk Kolaborasi Politik. Dapat diakses pada http://www.hukumonline.com/ diakses pada Selasa, 27 Sebtember 2016 pukul 16:53 WITA.

[20] Saptenno. Overview Kejahatan Lintas Negara Terorganisir. Dapat diakses pada http://fhukum.unpatti.ac.id/ diakses pada pukul 17:39 WITA.


[21] Lihat penjelasan pasal 10 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2006
[22] Butir 8 SEMA No. 4 Tahun 2011

Comments

Popular posts from this blog

Pantaskah Hukuman Mati Untuk Koruptor

Contoh Surat Tuntutan Pidana Penggelapan

Hubungan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pegadilan HAM Dengan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Resume Singkat: Advokasi

Lembaga Negara yang Berwenang Mengubah Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Perubahan Konstitusi Beberapa Negara di Dunia

Kontrak Pemain Sepak Bola

Hidup di Asrama Bagai Hidup dalam Sangkar

Pengertian Tindak Pidana

Drama Kasus Korupsi Negeri Ini (e-KTP)