A. Pengantar
Salah
satu kejahatan yang termasuk kedalam kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime adalah tindak pidana
korupsi. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena menimbulkan
efek kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat Indonesia, kejahatan korupsi
bisa disejajarkan dengan kejahatan terorisme yang membutuhkan penanganan yang lebih
khusus.
Ada sebuah jurnal asing yang mengatakan bahwa corruption is way of life in Indonesia, yang
berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia.
Mungkin komentar majalah asing tersebut menyakitkan, akan tetapi jauh
sebelumnya tidak kurang dari Dr. Moh. Hatta, seorang wakil presiden republik
Indonesia, pada akhir tahun enam puluhan atau awal tujuh puluhan pernah
mengatakan bahwa korupsi sudah cenderung membudaya di kalangan bangsa
Indonesia. Sekarang apa yang dikhawatirkan Hatta tersebut telah menjadi
kenyataan, bahwa skala korupsi telah menjadi demikian menggurita dan bisa
dikatakan bukan saja korupsi telah membudaya, namun juga telah melembaga. Telah
mengalami proses institusionalisme, sehingga hampir-hampir tidak ada lembaga
Negara atau pemerintahan yang bebas dari penyakit korupsi.
Kasus korupsi di Indonesiai terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, seperti yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui
situs resminya pada tanggal 24 Februari 2016 yang lalu, tercatat ada 550 kasus
korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH) dengan
total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi
kerugian Negara dari seluruh kasus tersebut
sebesar Rp 3,1 Triliun dan nilai suap sebesar Rp 450,5 Miliar.
Seiring meningkatnya kasus korupsi
yang melanggar pasal 2 dan pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang
tindak pidana korupsi yang memuat tentang kategori perbuatan yang bisa dianggap
sebagai tindak pidana korupsi. Maka diperlukan beberapa upaya yang harus
dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi, akhir-akhir ini muncul
istilah whistle blower sebagai salah
satu upaya dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi.
Biasanya pelaku tindak pidana
korupsi adalah pejabat-pejabat yang memiliki kedudukan ekonomi dan politik yang
kuat. Sehingga untuk bisa mengungkap itu semua dibutuhkan sanksi yang
mengetahui secara langsung tindak pidana tersebut baik ia terlibat langsung
didalamnya atau tidak dan memiliki keberanian untuk mengungkap fakta yang
berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Orang inilah yang disebut sebagai whistle blower atau “peniup peluit”.
B.
Pengertian
dan sejarah whistleblower
1. Pengertian whistleblower
Dikaji dari persfektif terminologinya istilah whistle
blower bisa diartikan sebagai “peniup peluit” namun ada juga yang menyebutnya sebagai “saksi
pelapor”, “pengadu”, “pemukul kentongan” , “cooperative whistleblower” dan
“participant whistleblower”.
Istilah whistle blower dalam bahasa inggrisnya juga diartikan sebagai
“peniup peluit”, dikatakan demikian karena sebagaimana halnya seorang wasit
dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit
sebagai fakta pengungkapan adanya pelanggaran yang terjadi dalam pertandingan
tersebut. Sedangkan dalam sisi hukum khususnya dalam proses pemberantasan
tindak pidana korupsi “peniup peluit” diartikan sebagai orang yang
mengungkapkan sebuah fakta pada kepada publik bahwa telah terjadi tindak pidana
korupsi.
Whistleblower
biasanya adalah orang yang bekerja sebagai karyawan, mantan karyawan atau
pekerja serta orang-orang yang bekerja di suatu institusi atau organisasi
khususnya organisasi pemerintahan. Orang inilah yang melaporkan suatu tindakan
yang dianggap melanggar ketentuan undang-undang kepada penyidik atau pihak yang
berwenang. Secara umum tindakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan berarti tindakan tersebut dianggap telah melanggar hukum,
aturan, dan persyaratan yang bisa menjadi sebuah ancaman bagi publik atau ancaman
terhadap keamanan publik, salah satu yang termasuk adalah tindak pidana
korupsi. Sebenarnya istilah whistle blower bukanlah hal yang baru di Indonesia
melainkan sesuatu yang sudah lama ada, namun dulunya hanya disebutkan sebagai
saksi saja sehingga masih ada kalangan masyarakat yang belum memahami apa
sebenarnya whistleblower itu sendiri.
Dalam
peraturan pemerintah nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksaan peran
serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana khususnya dalam pasal 2 yang berbunyi “Setiap orang, Organisasi
Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan
saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak
pidana korupsi”.
Dengan kata lain bahwa whistleblower adalah
orang yang memberikan suatu informasi kepada penegak hukum atau lembaga yang
berwenang bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi.
Whistleblower dalam
pengungkapan kasus korupsi menyandang status sebagai saksi selama ia tidak
terlibat langsung dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut. Dalam undang-undang
nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban pengertian whistleblower tidak dijelaskan secara
khusus namun dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan tentang pengertian
saksi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 yaitu orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Juga
dijelaskan dalam surat edaran Mahkama Agung Republik Indonesia nomor 04 tahun
2014 tentang Perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) di dalam perkara
tindak pidana tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang
yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertetu dan bukan bagian dari
pelaku kejahatan yang dilaporkan, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama
merupakan pelaku salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan
yang dilakukannya, buka pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan
keterangan sebagai saksi dalam proses peradian.
2. Sejarah wistleblower
Menurut
sejarahnya, whistle blower sangat erat kaitanya dengan organisasi-organisasi
mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar yang ada di Italia yang
berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut sebagai Sicilian
Mafia atau Cosa Nostra. Kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh para
Mafioso (sebutan terhadap anggota-anggota mafia) yang bergerak dibidang
perdagangan heroin dan mulai berkembang diberbagai belahan dunia, sehingga
sekarang ini banyak dikenal beberapa organisasi-organisasi mafia dari beberapa
Negara seperti mafia di Rusia, Cartel di Colombia, Triad di China, dan yang
paling terkenal Yakuza di Jepang. Organisasi-organisasi tersebut memiliki
kekuatan dalam jaringan sehingga anggota-anggota mereka bisa menguasai berbagai
sektor kekuasan, mulai dari sektor ekonomi, politik, dan bahkan aparat penegak
hukum.
Mafia
yang merupakan kejahatan terorganisir memiliki sumber kekuatan yang lebih baik
dibandingkan dengan agen pemerintah. Sumber-sumber pengaman mafia ini tidak
hanya terdiri dari polisi kotor tetapi juga hakim-hakim yang mereka bayar. Para
mafia bahkan memiliki akses dan membayar orang-orang di lembaga pemerintah
lainnya. Bukan hanya suap yang membuat para anggota mafia aman, tetapi juga
setiap anggota mafia yang tertangkap selalu bungkam, menolak memberikan
informasi, dan menjaga semua informasi yang disebut hukum tutup mulut yang
berlaku bagi kalangan mafia (omerta ). Satu-satunya cara untuk
menghancurkan omerta ini adalah dengan membawa orang dalam organisasi
mafia untuk bersaksi di pengadilan dengan menawarkan sebuah jalan keluar,
menyediakan jaminan perlindungan hukum dan jaminan keamanan dari aksi
pembalasan para gengster lainnya
Besar
kemungkinan suatu sindikat organisasi mafia tersebut bisa terbongkar karena
adanya salah seorang dari anggota mereka yang melakukan tindakan penghianatan
terhadap organisasinya. Artinya, salah seorang dari mereka yang melakukan
penghianatan tersebut dianggap sebagai peniup peluit (whistleblower) untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan
kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalanya whistleblower tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum selama
ia hanya berstatus sebagai saksi..
Di
berbagai Negara didunia istilah whistleblower
mulai berkembang dengan seperangkat
aturan masing-masing yang mengikatnya, seperti:
a)
Amerika Serikat, whistleblower diatur dalam whistleblower
Act 1989, whistleblower di
Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian
sementara, ancaman, gangguan dan tindakan diskriminasi.
b)
Afrika Selatan, whistleblower diatur dalam pasal 3 Protected Dsdosure Act Nomor 26 tahun 2000, whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan
jabatan atau pekerjaan
c)
Canada, whistleblower diatur dalam section
425.1 criminal code of Canada.
Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman
disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang
merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan
informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas
pekerjaan yang memberikan informasi.
d)
Australia, whistleblower diaur dalam pasal 20 dan pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994. Whistleblower
identitasnya dirahasiakan, tidak ada peryanggung jawaban secara pidana atau
perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari pihak
pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke
media.
e)
Inggris, whistleblower diatur pasal 1 dan pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecat dan dilindungi dari viktimisasi
serta perlakuan yang merugikan.
Di
Negara Indonesia sendiri istilah whistleblower menjadi populer ketika seorang
mantan pejabat yang bernama Susno Duaji mengungkapkan kasus penggelapan pajak
yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Publik mungkin masih ingat dengan kasus
Susno Duadji yang mengungkap adanya mafia kasus dan mafia pajak di tubuh
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang sangat erat hubungannya dengan
rekening-rekening gendut yang mengisi saldo para petinggi Polri. Tetapi dalam
proses hukumnya Susno Duadji justru diskemakan untuk mendapatkan hukuman dari
kasus pilkada Jawa Barat. Terlepas dari benar atau tidaknya Susno Duadji juga
melakukan hal yang sama, tapi setidaknya hal ini perlu diapresiasi karena
berdasarkan hal yang diungkapkannya secara luas, menjadikan mata khalayak umum
atau orang-orang awam yang selama ini buta dengan kondisi sebenarnya didalam
tubuh lembaga negara menjadi sedikit paham dan mungkin sedikit sadar mengapa
negara ini tidak maju-maju. Kasus ini menunjukan bahwa pentingan keberadaan
seorang whistleblower dalam poses
pemberantas tindak pidana korupsi.
C.
Perbedaan
whistleblower dengan justice collaborator
Dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang bertindak sebagai seorang saksi bukan hanya whistleblower saja namun ada juga istilah lain yang memiliki peran
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu justice collaborator. Kedua istilah ini menyandang status sebagai
seorang saksi namun diantara keduanya memiliki perbedaan. Masih banyak
masyarakat yang tidak mengetahui perbedaan antara whistleblower dengan justice
collaborator. Sebagian orang menganggap kedua istilah ini memiliki
perngertian yang sama namun memiliki perbedaan yang jelas.
Dalam tindak pidana korupsi whistleblower merupakan saksi pelapor
yang melaporka terjadinya tindak pidana kepada penyidik atau pihak yang
berwenang dan dia sendiri tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut. Beda
halnya dengan justice collaborator, dia
juga berperan sebagai saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi akan tetapi dia
juga terlibat langsung atau menjadi bagian dari tindak pidana tersebut namun
bukan merupakan pelaku utama.
Istilah whistleblower dalam bahasa inggris yang dapat diartikan sebagai
“peniup peluit”. Berbeda dengan istilah justice
collaborator yang dalam bahasa inggris diartikan sebagai “pembocor
rahasia”. Kata justice collaborator sebenarnya
diadopsi dari Amerika sehingga tidak ditemukan dalam KUHPidana Indonesia.
Pengertian justice collaborator dalam
surat edaran Mahkama Agung Nomor 4 Tahun 2011 adalah seorang yang merupakan
salah satu dari pelaku tindak pidan, mengakui kejahatan yang dilakukannya,
bukan pelaku utama dalam kejhatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai
saksi di dalam proses peradilan yang
sangat signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara
efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan
mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
Justice
collaborator adalah pelaku yang bekerjasan yaitu
orang baik dalam status saksi, pelapor atau informan yang memberikan bantuan
kepada penegak hukum misalnya dalam
bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti kuat atau keterangan/kesaksian
di bawah
sumpah,
yang dapat mengungkap suatu tindak pidana, dimana orang tersebut terlibat di
dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut atau bahkan suatu tindak pidana
lainnya.
Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum
dan HAM dalam diskusi di Auditorium Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
pada 16 Mei 2012 mengatakan bahwa whistleblower tidak terlibat dalam
kasus pidana yang diungkapkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan
bagian dari pelaku atau kelompok kejahatan yang terjadi.
Senada dengan Denny Indrayana, Ketua
LPSK Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa whistleblower bukan
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang diungkapkannya, tetapi jika dia
merupakan bagian dari pelaku yang diungkapkannya maka dirinya merupakan justice
collaborator. Abdul Haris menjelaskan bahwa Susno Duadji merupakan contoh whistleblower,
meskipun Susno Duadji menjadi pelaku kejahatan tetapi pada kasus yang
bebeda dengan fakta yang diungkapnnya. Menurut Abdul Haris penyidik kurang
memperhatikan waktu (timing)-nya menjerat Susno Duadji dalam kasus Arwana dan
Pilkada Jawa Barat, karena penetapan Susno Duadji menjadi tersangka dapat
membungkam kehadiran whistleblower lainnya karena pengusutan kasus Susno
Duadji dapat diduga merupakan pembalasan oleh oknum pelaku yang dilaporkan oleh
Susno Duadji. Meskipun demikian Susno Duadji diberlakukan sebagai Justice
Collaborator karena hukummnya diringankan oleh Hakim menjadi 3,5 tahun,
yang semula dituntut 7 tahun oleh jaksa penuntut umum.
Syarat untuk sesorang dapat
dikatakan sebagai whistleblower dan justice collaborator yaitu:
1)
Tindak
pidana yang diungkap merupakan tindak pidana serius dan atau terorganisir
seperti, korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, tindak pidana
pencucian uang, dan perdagangan manusia.
2)
Keterangan
yang diberikan signifikan, relevan dan andal. Keterangan yang diberikan
benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat penegak hukum dalam
mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga memudahkan kinerja aparat hukum.
3)
Orang
yang berstatus justice collaborator bukanlah
pelaku utama dalam perkara tesebut, karena kehadirannya sebagai justice collaborator adalah untuk
mengungkapkan siapa pelaku utama dalam kasus tersebut. Dia hanya memiliki peran
yang sedikit dalam tindak pidana tesebut tetapi memiliki pengetahuan yang banyak tentang perkara tersebut.
4)
Dia
mengakui perbuatannya di depan hukum dan bersedia mengembalikan asset yang
diperolehnya dengan cara kejahatan itu secara tertulis.
5)
Jaksa
penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik
dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dilaporkan secara
efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar
dan/atau mengembalikan asset-aset atau hasil tindak pidana.
D.
Peran whistleblower dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi
Berkembangnya jumlah kasus tindak
pidana korupsi setiap tahun mengakibatkan modus tindak pidana korupsi
menunjukan skala yang besar, kenyataan ini lah yang menyebabkan proses
pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan tindakan yang lebih diluar
cara-cara yang biasa digunakan. Salah satu
cara yang bisa digunakan untuk mengungkap kejahatan tindak pidana
korupsi yang terorganisir. Maka diperlukan peran seorang whistleblower yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut
sehungga mempermudah penyidik dalam menuntaskan tindak pidana tersebut.
Menurut Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja,
peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka
proses pemberantasan tidak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam
suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan. Yang
dikatakan Whistlebloweritu benar-benar didukung oleh fakta konkret,
bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut
umum kalau ada laporan seorang Whistleblower harus hati-hati
menerimannya , tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan
harus diuji dahulu.
Whistleblower sangat
berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi didalam suatu
oeganisasi, institusi pemerintah atau badan pemerintah karena whistleblower merupakan orang yang
berada dalam organisasi atau pemerintahan tersebut.
Dalam konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu
mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar.
Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah,
dikarekan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya
mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas prakik
korupsi. Sebab secara yuridis normatif, berdasarkan UU No.13 Tahun 2006, Pasal
10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower tidak ada tempat untuk
mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga
tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang
akan dijatuhkan.
Ada beberapa kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang
berhasil diungkap oleh para penyidik dan pihak yang berwenang karena adanya
pengakuan yang dilakukan oleh seorang whistleblower,
diataranya adalah kasus Susno Duaji yang mengungkap kasus penggelapan pajak
yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, kasus dana bantuan sosial yang melibatakan
gubernur Sumatra utara Gatot Pujo Nugroho dan pengacara kondang OC Kaligis serta kasus wisma atlet.
E.
Perlindungan hukum terhadap whistleblower
Menjadi seorang whistleblower dan justice collaborator bukanlah perkara yang sangat mudah, banyak hal
yang harus mereka hadapi dalam mengungkap kasus tindak pidana khususnya tindak
pidana korupsi. Mulai dari banyaknya teror yang mereka terima, pemutusan
hubungan kerja dari tempat mereka bekerja, ancama terhadap keselamatan jiwa dan
keluarganya serta kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru. Oleh karena itu
diperlukan aturan hukum untuk melindungi whistleblower.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan
hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Menurut lili rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat
difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif
dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.
Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang
lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh
keadilan sosial.
Kehadiran Whistleblower perlu
mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar.
Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah,
dikarenakan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya
mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi. Secara
yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower
tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan,
seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan
dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Di Indonesia sendiri belum ada aturan
atau undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang perlindungan tehadap whistleblower, aturan yang ada hanya
menjelaskan tentang perlindungan hukum terhadap saksi dan kombar.
Ada pun dasar hukum yang bisa
digunakan untuk memberikan perlindungan kepada whistleblower sebagai reward atas keberaniannya dalam mengungkap
sebuah kasus tindak pidana korupsi yang ia ketahui, diantaranya:
1)
United
Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang
diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang
konvensi PBB anti korupsi
Konvensi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 sendiri
dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah
menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan
masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai
etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan
penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki
hubungan yang sangat erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya
kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga
dalam banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian penting
sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang
berkelanjutan negara tersebut.
Untuk memberlakukan UNCAC di
Indonesia maka pemerintah Negara republik Indonesia meratifikasi konvensi
tersebut melalui undang-undang nomor 7 tahun 2006. Undang-undang ini di sahkan
pada tanggal 18 april 2006 dan di tanda tangani langsung oleh presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Perlindungan terhadap saksi pelapor terdapat dalam pasal 37
ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap negara
peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang
memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice
Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini”.
Dalam pasal 37
diatas mewajibkan setiap Negara yang telah meratifikasi konvensi PBB tersebut
untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi pelapor atau orang yang
memberikan kerjasama dalam proses penyidikan kasus tindak pidana sesuai dengan
hukum nasional yang berlaku disetiap Negara dalam hal ini undang-undang tentang
perlindungan saksi korban, dalam masalah justice
collaborator diberikan kekebalan hukum atau bebas dari penuntutan selama ia
bisa memberikan kesaksian kepada penyidik. Tapi di Indonesia orang yang
termasuk kedalam golongan saksi pelapor yang terlibat tetap dikenakan hukuman
namun kesaksiannya dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim untuk pengurangan
hukuman.
2)
United
Nation Convention Against Transnasinal Organized Crime (UNTOC)/
konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir diratifikasi dengan
undang-undang nomor 5 tahun 2009
Konvensi PBB mengenai Kejahatan
Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational
Organized Crime-UNTOC) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)
menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas
negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan
satwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural
property), perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan
perdagangan gelap senjata api.
Konvensi ini juga mengakui keterkaitan yang
erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan kejahatan terorisme,
meskipun karakteristiknya sangat berbeda. Meskipun kejahatan perdagangan gelap
narkoba tidak dirujuk dalam Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan
lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam
tiga Konvensi terkait narkoba sebelum disepakatinya UNTOC. Tapi yang menjadi
pembahasan utama adalah kejahatan tindak pidana korupsi.
Adapun
perlindungan hukum yang diatur dalam UNTOC terhadap saksi pelapor terdapat
dalam pasal 24 ayat (1) yang berbunyi “Setiap Negara Pihak
wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dalam batas kemampuannya, untuk
memberikan perlindungan efektif dan kemungkinan
pembalasan atau intimidasi terhadap
saksi-saksi dalam proses pidana yang
memberikan kesaksian mengenai tindak
pidana yang tercakup dalam Konvensi ini dan, jika patut, bagi keluarga mereka
dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka”.
Sebenarnya
undang-undang ini tidak menyebutkan whistleblower
dengan jelas tapi konvensi ini menyatakan dengan dengan jelas bahwa setiap
Negara harus memberikan perlindungan hukum kepada seorang saksi dan juga
keluarganya. Dalam hakikatnya seorang whistleblower
menyandang status sebagai seorang saksi dalam tindak pidana korupsi sehingga
dia juga harus mendapatkan perlindungan hukum dari Negara berdasarkan pasal 24
ayat (1) diatas.
3)
Undang-undang nomor 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur tentang
perlindungan terhadap seorang whistleblower,
melainkan hanya mengatur secara tegas perlindungan terhadap saksi dan
korban tindak pidana.
Dalam pasal 10 ayat (1)
menyebutkan bahwa “Seorang saksi,
korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata
atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan”. Yang dimaksud
sebagai seorang pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak
hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.
Dalam pasal ini hanya memberikan perlindungan kepada seseorang pada saat
statusnya sebagai saksi karena dalam ayat selanjutnya mengatakan apabila saksi
tersebut terbukti terlibat dalam tidak pidana tersebut maka dia tetap dihukum
tapi kesaksiannya menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman.
4) Surat Edaran Mahkama Agung nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle
Blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Latarbelakang lahirnya SEMA ini
adalah karena sebelumnya tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang secara eksplisit menyebutkan tentang perlindungan hukum terhadap whistleblower maka ada tanggal 10
Agustus 2011 Mahkama Agung mengeluarkan surat edaran yang mengatur tentang
perlakuan terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower)
dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice
collaborator) didalam perkara tindak pidana tetentu.
Dalam butir ke delapan surat
edaran ini disebutkan dengan jelas siapa itu whistleblower, yaitu:
a)
Yang
bersangkutan merupakan pihakyang mengetahui dan melaporkan tindak pidana
tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan pelaku kejahatan
yang dilaporkan
b)
Apabila
pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penangan perkara atas
laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan disbanding
laporan terlapor.
Kemudian di butir sebelumnya
ditegaskan bahwa seorang hakim yang menemukan adanya whisleblower dalam tindak pidana maka hakim tersbut harus
memberikan perlakuan khusus bagi orang tersebut salah satunya yaitu
perlindungan hukum. Dengan adanya surat edaran ini maka perlindungan hukum bagi
seorang whistleblower di Indonesia
sudah menemukan titik terang, sehingga kedepannya peran seorang whistleblower bisa lebih ditingkatkan
agar pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bisa berjalan dengan
baik.
5)
Peraturan bersama aparat penegak
hukum dan LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi
pelaku yang bekerjsama
Adapun selanjutnya yang bisa
dijadikan sebagai acuan dalam memberikan perlindungan kepada seorang whistlebloweri adalah peraturan bersama
aparat penegak hukum dan LPSK ini. tujuan dari dibentuknya adalah mewujudkan
kerja sama yang baik antara aparat penegak hukum dan lembaga perlindungan saksi
dan korban dalam mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi
seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi.
Sehubungan dengan ini maka diharapkan
agar saksi tersebut mendapatkan rasa aman dari tekanan fisik dan mental
sehingga bisa mempermuda penyidik dalam mendapatkan informasi selama proses
penyidikan tindak pidana yang dimaksud.
Dengan hadirnya beberapa dasar
hukum diatas yang bisa dijadikan sebagai perlindungan hukum bagi seorang saksi
maka diharapkan kedepannya agar masyrakat mau dengan berani menyampaikan kepada
penyidik tentang suatu perbuatan tindak pidana yang diketahuinya yang khususnya
berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan umumnya segala jenis
tindakan-tindakan yang melanggar hukum.
Daftar
Pustaka
Buku:
Muhammad Sayuti dan Edy Suandi Hamid. 1999. Korupsi,
Kolusi, dan Nopotisme di Indonesia. Yogyakarata: Aditya Media
Nurul Ghufron. 2014. Whistlebower Dalam Sistem Peradilan Pidana. Surabaya: Pustaka Raja
Jurnal:
Nixon, Syafruddin kalo, dkk. 2013. “Perlindungan
Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Vol.II-No.2. USU Law Jurnal
Syafriana Novi Astuti. 2014.
“Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi”. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya
Dewa Saputra. 2013. “Jaminan Kekebalan
Hukum Bagi Saksi Pelaku”. Vol.I/No. 2. Lex Et Societatis
Skripsi:
Septian Pradipta Nugraha. 2010. “perlindungan
hukum bagi justice collaborator atas
kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi”.
Skripsi. Universitas Brawijaya.
Undang-undang:
Novi Astuti, Syafriana. 2014.
Perlindungan Hukum Terhadap Whestle Bwoler Dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Korupsi. Universitas Atma Jaya, dapat diakses pada http://e-journal.uajy.ac.id/5975/
diunduh pada Jumat, 23 September 2016, pukul 14:24 WITA.
Satgas Pemberantas Mafia Hukum. Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama(Justice Collaborator) :
Usulan Dalam Rangaka Revisi Uu Perlindungan Saksi Dan Korban. (Jakarta:
satgas pemberantasan mafia hukum). 2011. Hlm 3
Comments
Post a Comment